Cattleya merasakan sedikit kesemutan di punggung tangan kanannya. Kepala berdenyut dan pandangan yang buram, serta nyeri di beberapa bagian tubuh, membuat wanita itu meringis kecil.
“Cey,” lirih. Dari suaranya, Cattleya tahu itu siapa.
Dugaannya benar. Setelah netranya dapat melihat jelas, yang pertama kali ia dapati adalah raut khawatir dari lelaki di sebelah. Pantas saja ia merasa kesemutan, lelaki tersebut ternyata meremas kuat tangannya. Saking kuatnya, Cattleya refleks menarik pelan punggung tangannya, menyadarkan lelaki itu akan kesalahan yang tanpa sadar ia lakukan.
“Maaf.” Lagi, lirih. Bahkan lelaki tersebut tertunduk dalam.
Merasa bersalah, Cattleya kembali meraih jemari milik lelaki yang tak lain adalah sang suami, mengenggam dan mengusap lembut.
“Bapak ngapain minta maaf segala?” tanya wanita itu berusaha mencairkan suasana. Baru ia sadari, suaranya parau. Dava mengangkat wajah. Raut terluka masih tersemat di mukanya yang tampak ‘kacau’.
“Maaf, saya nggak bisa menjaga kamu.” Pelan, dengan setengah berbisik lelaki tersebut menyatakan kalimat penyesalan.
“Apaan, sih? Pakai mewek segala. Saya baik-baik aja, kok.” Meski tahu tubuhnya masih terasa nyeri, Cattleya tetap berusaha menampilkan senyum seperti biasa. Namun, suaminya masih juga bergeming.
“Oh, iya. Hampir kelupaan. Selamat hari menua, Pak Suami!” Mencoba bersemangat dengan sisa tenaga, Cattleya terkekeh pelan.
“Kayaknya, kue saya gagal, ya?” Tak ada respon. Lelaki yang duduk di bangku—sebelah ranjangnya—itu hanya mengulas senyum tipis, sangat tipis hingga kentara dipaksakan.
“Harusnya kamu nggak usah repot-repot bikin kue untuk saya, Cey.”
Cattleya termangu. Ia tak mengerti maksud suaminya. Maksud Dava, ia tidak boleh menyiapkan hari jadi suaminya sendiri, begitu?Ketika menyadari ekspresi lelaki tersebut, bersamaan dengan rasa nyeri yang kembali menyerang, Cattleya bungkam. Memastikan apa yang sedang dipikirkannya saat ini salah, perlahan Cattleya mengalihkan perhatian ke asal rasa nyerinya. Mendapati sebagian tubuhnya—mengenakan piyama polos berwarna hijau tosca—tertutup selimut putih.
Tak hanya itu, terlalu fokus dengan raut sang suami, sejenak Cattleya melupakan bahwa dirinya ternyata bukan berada di kamar mereka. Melainkan ruangan dengan perpaduan biru langit dan putih.
“Saya … di rumah sakit?” Cattleya bertanya setelah selesai mengitari ruangan tersebut, menatap sang suami yang mengangguk kecil.
“Ap-apa … yang terjadi?”
Cattleya tahu, pertanyaan itu mungkin terdengar membohongi diri. Namun, sejujurnya ia memang tak ingat alasan kenapa dia berada di tempat tersebut. Yang ia tahu, sebelumnya dia sedang membuat kue tart untuk perayaan kecil-kecilan memperingati hari kelahiran sang suami. Karena lelah, ia memutuskan beristirahat sebentar, masuk ke toilet, lalu ….
Cattleya kembali memandangi Dava, yang juga menatapnya dengan pandangan khawatir dan … kecewa? Jika iya, kenapa?
“Pak ….” Dava tertunduk. Tangan yang sejak tadi bertautan dengan jemari Cattleya, perlahan merenggang.
“Maaf, Cey.”
Cattleya ingin marah pada lelaki itu. Berkali-kali mengucapkan maaf tanpa berniat mengatakan yang terjadi pada dirinya. Meski isi kepala Cattleya terus saja memberi jawaban, wanita tersebut berusaha keras menampiknya.
“Tolong, katakan pada saya. Saya ingin mendengarnya langsung dari Bapak.” Dava mengangkat wajah, suara istrinya terdengar semakin parau.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerfuffle (Tamat)
ChickLit[DISARANKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠] Collabrotion with @elsye91 (Romantic-Comedy) Why are we mad at each other? Is it necessary to making such a kerfuffle? ______ Nikah? Kata mereka, kehidupan pernikahan itu ajaib. Akan ada hal-hal tidak terdug...