Bab 33

8.2K 628 25
                                    

Le, elo nggak kangen Pak Dava?”

Cattleya berbohong. Saat menjawab pertanyaan Ardhan dengan sebuah gelengan, ia tahu mereka melihat kebohongan dari dirinya. Namun, tidak ada satu pun yang menyangkal. Entah ia harus bersyukur atau tidak.

Cattleya memutar tubuh ke arah sebaliknya. Lampu kamar yang sengaja ia padamkan, menyisakan bias cahaya dari penerangan di halaman luar dalam kegelapan. Pertanyaan Ardhan sebelumnya masih berdengung, seolah menuntut jawaban jujur. Netranya yang telah beradaptasi dengan suasana kamar, tertuju pada area sebelah yang kosong di tempat tidur. Tempat di mana Dava pernah tidur berdua dengannya untuk pertama kali.

Le, elo nggak kangen Pak Dava?”

Kangen.

Cattleya meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri. Mencoba mengingat kembali bau parfum lelaki itu. Mengingat sekali lagi suara yang sering mengusiknya di pagi hari ketika ia terlambat bangun. Suara heboh saat kemeja yang harus ia pakai pagi itu tidak ada dalam lemari pakaian. Mengingat betapa usil, menyebalkan, dan manjanya sang suami secara bersamaan. Dan, sikap protektif Dava di waktu-waktu tak tertentu.

“Saya juga kangen Pak Dava,” bisiknya lamat—sedikit bergetar. Seolah lelaki itu sedang di berbaring menghadap ke arah dirinya. Cattleya akhirnya tidak tahu, kapan ia mulai menutup mata. Kalimat tersebut seolah menghipnotisnya untuk terlelap.

**&**

Huft!

Desah lega panjang memenuhi ruangan bernuansa pastel. Kemudian pemilik desahan tersebut merebahkan tubuh ke atas tempat tidur serba putih berukuran king size. Seolah menikmati kenyamanan yang akhirnya ia dapatkan setelah berjam-jam berdiri.

“Ternyata cewek cantik bisa jorok juga, ya?” interupsi seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi dan mengenakan bathrobe. Atensi pemilik desahan beralih, lalu mengerut bingung.

“Bapak ngomongin saya?” tanya-nya.

“Sama dinding. Ya, kamulah. Lalu, kenapa panggil saya ‘Bapak’?”

“Jadi mau saya panggil apa? Kang ojek? Kang omel?”

“Sekarang saya suami sah kamu, loh.”

“Terus? Apa hubungannya?” Terdengar ringisan sebal dari lelaki yang kini berdiri di depan tempat tidur. Ia mendekat dan merapatkan jarak antara dirinya dengan gadis yang beralih mendudukkan diri—yang kini sudah berganti status.

“Kayaknya otak kamu berhenti berkembang sejak SMP, ya?” ucapnya kemudian menjentikkan jari tepat di kening gadis itu. Membuatnya mengerucut kesal.

“Bocah tetap aja bocah, walaupun luarnya udah kuliahan,” sambung lelaki tersebut.

“Lah, kalau bocah kenapa dinikahin? Bapak pedofil?” Langkah kaki yang menjauh itu sontak terhenti. Bergegas memalingkan wajah, padahal sudah tertangkap basah wajahnya bersemu memerah. Gadis di sebelah terbahak, semakin menambah rasa malu.

“Kamu sendiri kenapa mau dinikahin?” Lelaki tersebut balik bertanya.

Lama gadis itu bersikap seolah sedang memikirkan sesuatu, lalu mengangkat bahu sambil mencebik.

“Entahlah. Kembang kuncup kali,” ujarnya.

“Kembang kuncup?” Alih-alih mendapat jawaban, ia malah kembali ditertawakan.

“Apanya yang lucu?”

“Nggak ada.”

Sebal? Tentu saja. Namun, ia mencoba menahan diri agar tidak terlihat kekanakkan. Melempar handuk dan mengenai wajah gadis yang baru beberapa jam lalu menjadi istri sahnya

“Mandi sana. Bau!” ejeknya. Gadis itu mencibir.

“Hilih. Padahal tadinya bilang cantik,” celetuknya menggerutu.

“Ih, kapan? Salah dengar kali,” balas sang suami tak mau kalah.

“Auh, ah. Bodo!” Gadis tersebut pun menghilang di balik pintu kamar mandi. Lamat, terdengar dengusan tawa yang lepas.

Selang beberapa menit, atensi lelaki yang sedang duduk di sofa bersama ponselnya menoleh saat seseorang dari dalam kamar mandi berjalan keluar, mengenakan piyama tidur motif kartun Doraemon.

“Kenapa kita malah ke hotel? Bukannya Bapak bilang punya apartemen?”

“Kamu nggak suka?” ucap lelaki itu datar setelah mengalihkan atensi kembali ke ponsel di tangan, ketika menyadari sang gadis yang baru saja mandi tersebut menoleh padanya.

“Bukan nggak suka, sih. Ya, aneh aja. Ngapain buang-buang uang nginap di hotel kalau udah punya rumah sendiri?”

Diam-diam, lelaki tersebut melirik ke arah sang istri yang sedang mengeringkan rambut panjangnya menggunakan handuk di depan cermin. Tak kunjung mendapatkan jawaban, gadis itu menoleh ke belakang. Mendapati lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya sedang menatap bungkam, lebih tepat untuk dikatakan melamun.

“Pak? Pak Dava?” Nihil, lelaki itu masih bergeming.

“Woi, dosen sengklek!”

Sepersekian detik, tampak lelaki tersebut berjengit kaget. Namun, dengan cepat ia mengatasinya. Berdeham kecil, membenarkan posisi duduk, dan berpaling ke arah jendela di samping sofa. Menampakkan suasana kota di malam hari.

“Dih, paan, sih. Ditanya malah melamun,” ucap sang gadis mendumel lalu lanjut mengeringkan rambutnya.

“Saya mau tidur dulu. Jangan lupa matikan lampunya.”

Gadis itu berbalik, menoleh pada lelaki yang masih mengenakan bathrobe putih berjalan menuju tempat tidur. Keningnya berkerut, membalikkan tubuh menghadap suami yang sudah membalutkan diri dengan selimut.

“Terus saya tidur di mana?”

“Saya nggak tahu kalau otak kamu beneran lamban,” jawab lelaki tersebut terlihat telah memejamkan mata.

“Cih!”

“Kita itu suami-istri sah,” ujar lelaki tersebut masih enggan membuka netra yang terpejam.

“Saya tahu. Bapak udah bilang itu sejak tadi. Yang saya tanyakan, saya mau tidur di mana kalau Bapak tidur di situ. Ngapain malah muter-muter.” Bersedekap kesal, gadis itu menghampiri suaminya di tepi tempat tidur.

“Dasar lemot!” celetuk sang suami. “Karena kita udah sah, itu artinya kita tidur seranjang. Memangnya kamu maunya gimana?”

“Ha?!” seru gadis tersebut tak percaya. Ia baru menyadari pertanyaan bodoh yang dilontarkan sebelumnya. Kenapa dirinya tak memikirkan hal itu?

“Nggak!” Lagi, ia menyuarakan protesnya. “Saya nggak mau tidur berdua sama Bapak. Nggak-nggak! Hih ….”

Lelaki itu akhirnya membuka mata, mengernyit bingung dengan penolakan aneh sang gadis yang jelas-jelas adalah istrinya.

“Ya sudah, kalau nggak mau kamu tidur di sofa aja.”

“Lah, kok, malah saya? Bapak, dong! Kan Bapak laki-laki di sini.” Penolakan tegas kembali meluncur dari bibir gadis di hadapan. Lelaki tersebut menghela napas pelan, mendudukkan diri, menatap sang istri yang juga berstatus sebagai mahasiswanya sedang menggerutu sebal.

“Yang nggak mau tidur berdua sama saya siapa?” tanya lelaki itu.

“Saya.”

“Nah, berarti kamu yang tidur di sofa.”

“Ih, masa Bapak tega suruh saya tidur di sofa? Bapak, dong, harusnya!”

“Kenapa harus saya?”

“Kan Bapak suami saya.” Untuk ke sekian kali, kerutan tipis tercetak di kening sang lelaki.

“Urusan begini, kamu baru mengakui saya suami kamu? OGAH!”

“Hih! Dasar suami sengklek!” sambil mengentak langkah, gadis tersebut berjalan ke arah sebaliknya, naik ke atas tempat tidur bersebelahan dengan sang suami. Suara tawa mengudara dari samping.

“Berubah pikiran juga?” tanya lelaki itu, mengejek.

“Cih!” Gadis tersebut berbalik, memutar tubuh membelakangi suaminya yang masih tertawa.

“Nggak takut saya apa-apain? Ini malam pertama, loh?” bisik lelaki yang berprofesi sebagai dosen di universitas yang sama dengan istri, tepat di sebelah telinga.

Buk!

Tidak cukup keras. Namun, lumayan untuk membuat sang korban meringis kesakitan. Tak main-main, siku tangan gadis itu mengenai bagian tengah perut sementara punggung tangannya mendarat di rahang milik sang suami.

“Kamu sengaja, ya?”

“Siapa suruh ngomong tiba-tiba di telinga saya, pakai bisik-bisik segala pula.” Gadis itu membela diri, meski sebenarnya ia khawatir saat melihat raut kesakitan lelaki tersebut. Ia tak berniat menyakitinya begitu keras.

“Tapi bener, ‘kan? Ini memang malam pertama kita. Saya ini laki-laki normal, dan kamu istri say-”

Buk!!

Lagi. Kali ini, sebuah bantal yang mendarat di wajah menyela kalimat lelaki malang tersebut.

“Dih! Amit-amit!” tolak gadis itu. Sontak, suaminya membelalak.

Lah? Amit-amit sama suami sendiri?

***

“Oke! Sekarang, kita buat perjanjian,” putus gadis itu setelah beberapa saat. Menarik desahan lelah dari lelaki yang bersandar di headboard empuk milik tempat tidur serba putih tersebut.

“Kita itu udah mengucap janji saat ijab kabul tadi. Untuk apa buat perjanjian lagi?”

“Ini beda. Ini janji antara saya, Cattleya Renanthera sebagai seorang perempuan dan Bapak sebagai laki-laki.”

“Hm …. Memangnya janji apa, sih?”

Dava, sang suami, melirik ke arah istrinya yang tampak sedang berpikir. Diam-diam melekatkan atensi dan kemudian segera beralih ketika gadis itu menoleh.
“Perjanjian pertama, saya nggak mau tidur sekamar dengan Bapak.”

“Tapi kita sekarang di hotel. Memangnya kamu mau pesan kamar lain, sementara suami kamu di sini? Kamu itu bego atau apa, sih?”

“Ih, bego mulu dari tadi,” protes gadis itu sebal. “Untuk malam ini, kita gencatan senjata dulu. Tapi, kalau nanti Bapak macam-macam sama saya, saya bakalan usir Bapak.”

“Hm … ternyata bawel juga,” ucap lelaki itu berbisik. Untungnya tak kedengaran oleh sang istri.

“Tapi apartemen saya cuma punya satu kamar.”

“Eh? Bukannya, sebelum menikah Bapak bilang sudah punya rumah sendiri juga? Yang katanya memang disiapkan untuk setelah menikah?”

“Aish, kenapa gue kasih tahu ya kemarin?” gumam lelaki itu lagi.

“Oke, lanjut. Kedua, tidak ada skinship. Awas aja kalau Bapak berani ambil kesempatan!”

“Suami mana yang nggak dibolehin menyentuh istrinya? Lagipula saya sudah bilang, ‘kan? Saya ini laki-laki normal. Kamu mau saya selingkuh?”

“Awas aja kalau berani. Saya gantung di tali jemuran,” ancam sang istri. Dava itu menghela napas lagi.

“Kalau saya sedang ‘butuh’ gimana? Nggak dibolehin juga?” Alih-alih membalas, gadis tersebut seketika menunduk. Menyadari rona merah di wajah istrinya, Dava terkekeh.

“Ke-ketiga.” Gadis itu segera mengalihkan topik, melanjutkan perjanjian.

“Seperti permintaan saya sebelum menikah. Bukan cuma saat menikah aja, tapi saya juga nggak mau orang lain mengetahui pernikahan ini. Baik itu teman Bapak atau saya, maupun rekan kampus. Cukup keluarga kita saja.”

“Keempat.”
“Banyak amat elah,” potong sang suami. Namun, diabaikan oleh lawan bicara.

“Saat di kampus, kita berdua harus bersikap seperti sebelumnya. Mahasiswa dan dosen. Bukan su-suami dan istri.”

“Udah? Ada lagi?” Cepat, gadis tersebut menggeleng dengan kepala masih menatap bawah.

“I-itu aja.”

“Hm, oke. Setuju. Tapi, masih ada satu perjanjian lagi.”

Gadis itu mengangkat kepala. Kaget ketika tanpa sadar jarak antara dirinya telah menipis, tak menyadari kapan lelaki tersebut mendekat.

“Kelima,” ucap Dava tepat di telinga istrinya. Membiarkan deru napasnya beradu dengan tengkuk gadis yang seketika membeku.

“Sepertinya saya mulai suka dengan panggilan ‘Pak’. Saya anggap itu adalah panggilan kesayangan dari kamu.”

Dava beralih, memindahkan wajah berhadapan dengan sang istri dengan rentang yang benar-benar kecil. Bahkan, sedikit lagi kening keduanya hampir bersentuhan. Bukan tak ingin menjauh, hanya saja tubuh gadis itu tanpa alasan malah tak mau digerakkan.

“Jadi, saya juga akan memberi kamu panggilan kesayangan.” Dava menampakkan senyum tipis, memberi jeda yang entah kenapa membuat detak gadis itu semakin bertalu.

“Bagaimana dengan ‘Ceya’? Sepertinya nama yang manis. Gimana, ‘anak SMP’?”

Sial!

Cattleya merutuk dalam hati, saat senyum kemenangan terukir jelas di raut Dava ketika mendapati wajahnya bersemu malu.

***

“Cattleya.”

Wanita pemilik nama yang baru saja dipanggil, seketika tersentak. Menyadari dirinya ternyata melamun sejak kelas dimulai.

“Ada apa?” tanya seorang wanita berusia tiga puluhan, yang mengajar mata kuliah Industri Pastry di kampusnya.

“Eh, nggak ada apa-apa, kok, Bu. Maaf, saya malah melamun,” sesalnya.

“Kalau merasa tidak enak badan, kamu boleh beristirahat. Kamu kelihatan pucat.”

Sebenarnya Cattleya ingin menolak dan tetap melanjutkan kelasnya, tetapi mengetahui akan percuma saja jika isi kepalanya masih dipenuhi pikiran selain mata kuliah, ia pun memutuskan untuk menerima.

“Maaf, Bu. Saya permisi dulu.” Usai membereskan buku, ia pun segera meninggalkan kelas.

Tepat sebulan, sejak ia kabur dan menghindar dari Dava. Namun, laki-laki itu tampaknya belum menyerah. Masih mengirim pesan singkat yang hanya dibaca tanpa mendapatkan balasan darinya. Masih menitipkan makanan kesukaan Cattleya pada sang Mama. Dan, baru kemarin lelaki itu mengirimkan sekotak es krim kesukaannya lewat Riesa dengan selembar sticky notes.

Sebentar lagi, usia pernikahan kita bertambah. Aku hanya mau kamu sehat-sehat aja. Dan, aku masih menunggu kamu di sini, Cey.

Ya. Beberapa hari lagi, pernikahan mereka akan berusia sebelas bulan. Cattleya baru menyadari, selama sebelas bulan, lelaki itu sejak awal memang tidak pernah menyerah. Menunggu hingga dirinya ‘benar-benar pulang’ ke tempat di mana seharusnya ia berada. Bahkan, ia sekarang sedang berdiri di hadapan Cattleya. Tanpa sengaja bertemu di selasar depan ruang kelas yang baru saja ditinggalkannya.

“Ceya?”

Ah, ternyata … ia merindukan panggilan itu.

###

Note:
Yuhuu ...
Siapa yang kangen couple ini?
Bentar lagi mau tamat, masih nunggu?
Jangan bosan ya nunggu cerita ini yang updatenya belum teratur hehe. Semoga kalian suka.

Salam hangat kami,
Tasyayouth
Elsye91

Kerfuffle (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang