Bab 38

8.5K 591 21
                                    

"Aku akan menunggu, walau sakit. Bahkan ulat juga menunggu walaupun tersakiti dalam prosesnya. Karena menjadi kupu-kupu yang indah, harus melalui tahap menjadi kepompong."

***

"Gue mau pulang ke rumah orang tua gue!"

Dava memicingkan matanya, memberi tatapan kesal. Sementara sosok yang ngambek itu, masih memejamkan matanya. Ia sedang mengompres pipi bengkaknya dengan es batu. Jika diteruskan begini, lama-lama wajah tampannya tidak terbentuk lagi.

"Gue laporin lo sama Ceya. Awas aja!" ancam lelaki berjas dokter itu lagi. Begitu ia membuka mata, refleks tubuhnya menjauhi sosok yang menatapnya dengan tajam. Abian tidak tahu mengapa ia harus memiliki sepupu mengerikan seperti itu.

"Coba kalau berani," ucap Dava balas mengancam.

Abian mengalihkan pandangannya. Tentu saja ia tidak berani. Tak terhitung berapa kali Dava memukulnya hanya karena kesalahpahaman. Memang ia bersalah hari itu, tetapi niatnya hanya untuk membuat Dava sadar. Bukannya malah menjadikannya sasaran tonjokan.

Lalu hari ini, ia harus mengalaminya lagi. Satu kesalahpahaman, menimbulkan kesalahpahaman lainnya. Pulang dari luar negeri bukannya disambut dengan ceria, ia malah diseret untuk dipukuli hanya karena sebuah surat sialan. Ya, Abian mengumpati surat itu. Ia bahkan tidak tahu apa-apa.

Jika boleh, Abian ingin mengomentari bahwa sebenarnya yang salah adalah Cattleya. Mengapa gadis itu pergi begitu saja dan hanya meninggalkan surat yang tak bertuan? Hanya karena seorang wanita, apakah tidak boleh dihakimi sebagai pihak yang bersalah? Namun, jika ia mengemukakan pendapatnya, Dava pasti tidak setuju. Bisa-bisa ia dibabakbelurkan lagi. Dava itu bucin, se-bucin-bucin-nya. Ia akhirnya menyadari bahwa wanita adalah makhluk menyebalkan.

"Lo beneran mikir gue punya rasa sama Cattleya?" tanya Abian ragu-ragu.

Dava tampak menghela napas, pandangannya masih lurus ke depan. "Enggak," jawabnya.

"Berarti lo sengaja nuduh gue? Wah, gak elit banget gue digebuk jalur fitnah. Masih mending jalur selingkuh, gu ...."

Abian langsung kicep mendapat tatapan tajam dari Dava. Lelaki itu sangat sensitif akhir-akhir ini. Senggol? Bacok.

"Karena cuma lo yang bisa gue salahin."

Abian mengelus dadanya, mencoba menenangkan inner yang meledak. Rasanya ingin menenggelamkan Dava ke dasar Palung Mariana. Walau begitu, Abian merasa sedikit tenang. Sebenarnya ia memang punya sedikit rasa pada Cattleya. Siapa yang tidak suka wanita imut seperti itu? Namun, sekadar suka saja. Mungkin Cattleya bisa menjadi prototipe wanita ideal yang ia cari sebagai jodoh nanti.

"Lo kayaknya lebih tau siapa dalang di balik semua ini."

Dava mengacak rambutnya kasar. Ia telah menduga-duga sejak dalam perjalanan tadi. Ia tahu benar bagaimana Abian, sepupu yang paling dekat dengannya. Dan, ia sadar akan ketertarikan Abian, walaupun sedikit pada Cattleya.

"Mama Cattleya."

"Mamanya? Bukannya Mama Cattleya dukung banget hubungan kalian?"

"Gue gak yakin. Tapi, Mama mungkin tau alasan kami nikah. Kadang gue merasa bersalah, menghambat impian Cattleya. Udah lama dia pengen ke luar negeri, tapi tau-taunya malah hamil anak gue. Dan Cattleya langsung merubah keinginannya buat berhenti kuliah di luar. Sekarang, dia udah di sana, sekalian nata ulang hatinya yang patah karena gue, juga keluarga gue. Tapi telepon Cattleya tadi pagi bikin gue resah."

"Dia bahas surat itu?"

"Iya. Gue gak marah sama Cattleya karena dia ninggalin gue tiba-tiba. Gue marah sama diri sendiri, gak bisa jaga dia dan calon anak gue dengan baik. Dia masih muda, labil, jadi gue paham."

Kerfuffle (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang