Empat 🍫 Lucky.

1.2K 130 19
                                    

Ketika seseorang memilih jalannya  dengan hal yang menyedihkan dalam sebuah kesenangan paslu, berbanding terbalik dengan Galuh, yang tidak mau memperlihatkan  kesedihan dengan sebuah  kesenangan yang meski hanya sebentar.

Dua hari berlalu, ia sudah kembali ke sekolah tentunya dengan keadaan yang lebih baik.  Meski tidak bisa di pungkiri wajah pucat selalu terhias darinya.

Kalau boleh meminta, Galuh ingin bermain-main di dunia lebih lama, tapi mungkin doanya akan sulit terkabul.

Seperti di pagi hari ini   suara berat Fariz muncul dengan  nampan berisi susu cokelat dan roti isi selai kesukaan Galuh.

"Bunda sama Papa pergi duluan, lo berangkat bareng gue." katanya, tanpa basa-basi,  Galuh hanya mengangguk.

"Bang Ibnu?" tanya Galuh,  Fariz melirik sebntar setelah meletakan nampan,  lalu duduk di sebelah Galuh, yang sedang mengikat tali sepatunya.

"Udah dari kemarin belum pulang,  ada latihan, lo beneran udah segeran?" tanya Fariz, sekali lagi, anggukan kecil sebagai jawabannya.

"Bamg Fariz jangan kaya Bang Ibnu, pusing dengernya." protes Galuh,  anak itu mengambil  roti serta susu cokelat yang tadi di bawa Fariz usai mengikat tali sepatunya, setelahnya memakan sarapan yang  dibawakan Fariz tadi.

"Gue ngga akan bawel, kalau lo  baik-baik aja." kata Fariz, lalu bangkit. Galuh mendongak melihat wajah Fariz yang lesu, entah karena apa, ia tidak ingat apapun.

"Muka lo kenapa kusut banget, Bang?"

Pertanyaan Galuh, tidak di balas oleh Fariz, Galuh diam, karena mustahil untuk Galuh mendapat jawaban cepat dari Fariz.

Anak itu telah selesai dengan sarapannya. Dia kemudian beranjak keluar, menyusul Fariz yang membawa nampan berisi sarapan yang telah kandas dilahap oleh Galuh.

🍫🍫

Sepanjang perjalanan  Galuh sama sekali tidak bersuara, apalagi Fariz, jangankan hanya berbasa-basi seperti Ibnu,  mereka akan terlihat biasa saja, karena Fariz memang sulit di ajak bicara kalau tidak butuh. 

"Bang, kalau gue kaya senja seru kali, ya?" 

Kalimat yang setiap kali menjadi topik agar Fariz mau menanggapi, tapi, perlu di perhatikan, Fariz itu bukan Ibnu, yang akan menanggapi pertanyaan aneh, adiknya dengan semburan kalimat sadis.

"Bang, ketika lo masih kecil, permintaan lo apa ?" tanya Galuh, sedikit pun ia tidak melihat Fariz, tapi percayalah, Fariz memperhatikan wahah Galuh dari ujung matanya.

"Gue minta adek kaya lo." balas Fariz. Galuh menoleh cepat, melihat Fariz yang diam tanpa senyum.

"Gue ngga salah denger ?" tanya Galuh lagi, Fariz mengangguk.

"Kenapa ?" tanya Fariz,  kini mobil Fariz berhenti di depan gerbang sekolah adiknya, memang tidak terasa. Ketika Galuh siap untuk turun, tangannya tertahan oleh Fariz, sejenak Galuh menoleh, dengan tatap herannya Galuh diam.

"Karena lo, gue bisa ngobrol sama Ibnu lagi." jawab Fariz, membuat Galuh mengerjap, masih belum paham apa maksud Fariz.

"Gih sana, nanti telat." Hanya itu,  tak mau berlama-lama, lagi pula, jam yang melingkar di pergelangannya, sudah menunjukan pukul setengah tujug lewat. Itu artinya  sebentar lagi bel masuk kelas.

"Luh, inget obat lo, jangan lupa di minum!" teriak Fariz dari dalam mobil, setelah adiknya turun, ia masih bisa melihat Galuh berlari kecil menghampiri kedua sahabatnya yang sudah menunggu tak jauh dari tempat ia menurunkan Galuh.

"Di anterin?"

Galuh mengangguk, setelah di rasa mobil Fariz telah kembali melaju, mereka pun berjalan beriringan menuju kelas.

GALUH✔ ( PROSES REVISI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang