Dua puluh dua 🍫 Aman

404 44 93
                                    


"FARIZ!"

Sebelumnya... Malam itu Ibnu mengabari Fariz kalau ia akan ditinggal jauh oleh Fariz, cowok itu pergi tanpa pamit pada siapapun termasuk Galuh.  Ibnu terlampau takut karena dunianya terasa begitu nyata bahkan itu benar-benar terlihat jelas di depannya adalah Fariz juga Galuh. Di sana tawa mereka begitu nyaring suara bising kendaraan saja tak terdengar oleh Ibnu. Ia nyaris merelakan dirinya terhempas dengan angin riuh di tengah jalan.

"Bang Fariz lo di mana, Bang!"

Jerit itu memanggil nama Fariz berulang kali, tangannya bergetar saat ia tahu ia tidak ada di tempat semula. Pikirannya dibawa jauh  untuk ingat sebelumnya ada di mana. 

Ibnu tidak ingat kejadian yang membawanya saat ini. Yang ia ingat tadi, dirinya masih bersama Galuh. Tapi sekarang yang  ia dapat adalah, seperti gelandangan di tengah jalan sambil menutup kedua telinganya kuat  sambil menjerit memanggil nama Fariz.  Ia pun lupa bagaimana bisa dia sampai ke tempat itu dengan santainya.  Kedua kakinya  melangkah saja sudah tak mampu, akhirnya Ibnu memutuskan untuk duduk di pinggir trotoar tanpa peduli tatap tajam pejalan kaki yang mengira dirinya sudah tak waras. 

Tangan gemetarnya membuat Ibnu kembali sadar, ia harus mengabari Fariz. Ia pun meraih ponselnya yang ada di dalam saku celana panjangnya, lalu ia pun membuka ponselnya  untuk menekan layar dengan tanda hijau di sana.  Cukup lama ia menunggu, hingga akhirnya nada sambung kelima itu mulai terdengar. Ada napas berat  yang bisa Ibnu rasa setelah ia mengatakan hal yang membuat Fariz mendesah kasar di sebrang sana.

"Bang Fariz jemput gue, gue lupa jalan pulang, Bang."

"Lo dimana Nu, jangan bercanda!"

"Serius Bang, ini gue ngga tahu di mana, jemput gue pokoknya gue takut seriusan kaya mau mati. Buruan!"

"Share lokasi aja."

Sambungan itu terputus, dingin udara malam membuat tubuh Ibnu menggigil  luar biasa.  Cowok itu berulang kali menautkan kedua telapak tangannya sambil di gosok berkali-kali lalu mengusap lengannya agar terasa hangat.

Tak butuh waktu lama, Fariz pun sampai, ia melinat raut wajah Kakaknya yang tak biasa, ingin rasanya mengumpat tapi bukan waktu yang tepat. Kali ini, dirinya hanya butuh tempat tidur dan selimut hangat. Perlu diingat, sebelum itu Fariz sudah melemparkan jaket miliknya untuk Ibnu kenakan, dan membiarkan angin malam menyambut Fariz saja.  Sempat ingin menolak tapi Fariz lebih dulu bersuara.

Sepanjang jalan, Ibnu hanya bersandar pada punggung tegap  Fariz. Meski ia sudah mengenakan jaket, rasanya masih begitu dingin. Untung saja kecepatan berkendara Fariz tidak begitu cepat, bahkan Ibnu masih begitu sadar kalau sebelah tangan Kakaknya sudah begitu erat memegang kedua tangannya yang melingkar manis di pinggang Fariz.

Sesampainya di rumah tubuh Ibnu terasa begitu ringan, seolah  nyawanya pergi begitu cepat. Fariz sudah kesal setengah mati karena adiknya tidak mau bangun, dengan amat terpaksa ia memapah tubuh Ibnu  sampai ke dalam kamarnya.  Mau memarahinya saja Fariz sudah malas.  Jika boleh jujur, malam ini begitu menyekat seolah rasanya ingin sekali tidur dengan lama, rasa kantuk itu membawanya ikut terlelap, duduk dan bersandar di kepala ranjang milik Ibnu. Sampai suara pekik Ibnu yang membangunkannya dengan wajah yang mengkhawatirkan.  Tubuh Ibnu juga cukup panas. 

"Bang, Papa tadi narik lo suruh ikut, terus lo mau, terus Bunda juga dateng, Bang jangan tinggalin gue..."

Gumam itu membuat Fariz harus terjaga di waktu yang menyebalkan. Ibnu tidak sedang bercanda,'kan? Tubuhnya benar-benar demam.

"Nu, gue di sini kok, gue sama lo.  Udah tenang ya, tidur aja istirahat."

Bisik menenagkan Fariz membuat Ibnu terisak, rasanya ia ingin menjerit bagaimana rasanya sakit di waktu yang bersamaan.

GALUH✔ ( PROSES REVISI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang