Sampai tiba saatnya, kamu hanya bisa ku genggam dalam bayang, bukan untuk selamanya.
. . . . .Setelah semalaman membuat panik, pagi ini sosok itu telah kembali menjadi sosok yang biasa. Melakukan segala hal untuk menjadi yang terdepan, tidak lupa untuk mengingatkan dirinya cukup hanya sekali dan tidak akan lagi.
Jujur, itu adalah kali pertamanya ia tumbang dengan rasa yang tak bisa terduga. Dengan semua beban yang tiba-tiba lepas begitu saja. Tubuhnya menyentuh lantai, tepat dimana dirinya berdiri tanpa pijak yang nyata.
Rasanya damai bisa bermimpi sebentar untuk melepas rindu pada Bunda. Belum lagi, sosok Regi yang mentertawakannya saat ia hendak berlari mengejar penjual somay. Mimpinya seperti nyata, tapi senyap suara itu masih bisa di dengarnya.
"Maaf."
Suaranya lirih, dengan peluk hangat yang ia sadar si bungsu sedang memeluk dari belakang sambil bersandar.
Tidak, ia tidak mau membuat adiknya merasa terbebani, karena melihat dirinya yang tiba-tiba tak sadarkan diri. Entah bagaimana kesadarannya bisa menghilang pada saat ia tidak lagi memikirkan hal lain.
"Abang..."
Suaranya masih mendayu, mengisyaratkan kalau ia ingin dilihat. Tapi sosok itu masih belum menyahut, semakin erar peluk itu semakin tak bersuara sosoknya.
"Maafin gue, Bang."
Ingin tertawa rasanya, memelas seperti saat ini adalah hal yang paling menyenangkan. Jika ada Ibnu, cowok itu sudah pasti akan ikut-ikutan. Bahkan lebih menggila dari si Bungsu. Sayangnya, tadi ketika Galuh belum bangun, Ibnu lebih dulu memaki Kakaknya dengan sangat tidak enak di dengar. Memang benar apa yang Ibnu katakan, hanya saja waktunya kurang tepat. Ibnu juga tidak bisa mengatakan apapun ketika Fariz menjelaskan bagaimana dirinya mendapat telepon dari Desti kemarin.
Mereka berdua hanya bisa diam dalam pikirannya masing-masing. Hari ini, Galuh masih belum di perbolehkan untuk sekolah, semalam usai drama ngambek-ngambekan Galuh mrrengek pada Ibnu kalau dirinya tidak mau sekolah. Ya, Ibnu sih setuju saja, karena trpat di pukul 2 dini hari, sosok Fariz baru saja kembali sadar. Cukup lama pria itu diam, mungkin masih begitu pusing karena tubugnya yang tiba-tiba terjatuh.
"Abang... maaf ah, ah, gak mau lepas peluknya kalo gak ngomong. Bodo amat!" rengek Galuh.
Bahkan usai membuat sarapan anak itu masih belum mau merelakan kakaknya bergerak bebas, sedangkan sebentar pagi Ibnu usai dari aktivitas senamnya di halaman belakang.
"Mau drama lagi?"
"Mau buat barang di rumah pecah lagi?"
"Semuanya pake duit!"
"Kalo lo lupa, gue ingetin!"
Baiklah, Fariz sudah kembali menjadi kutubnya. Anak itu terkwkeh dibalik sana, tidak bisa membalas apa yang Fariz katakan selain meminta maaf atas apa yang sudah ia lakukan semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALUH✔ ( PROSES REVISI )
Fiksi Remajaluka adalah dia yang tak mau berjuang, bukan karena tak mampu, hanya saja waktunya tidak cukup untuk menyelesaikan semuanya. Namanya menggema di mana-mana, tapi tidak dengan jiwanya yang pergi lebih dulu. Berharap akan ada keajaiban, namun semuany...