Tiga puluh satu 🍫 Labirin

361 42 35
                                    

Usakan baca pelan-pelan, takut kena serangan kesal mendadak 🤭🤭

Okay selamat menikmati 🍫

. . . .

Satu minggu sudah berlalu, setelah kejadian mimpi yang seperti nyata, dan satu minggu sudah keadaan mulai membaik. Seperti semua sedang dalam rencana takdir, atau mungkin takdir memang sedang merencanakan hal lain?

Tepat di hari ini, hari senin Galuh kembali merasa jauh lebih sehat dari pada minggu lalu. Bangun pagi, sarapan, dan bersiap untuk ke sekolah. Hanya saja kali ini tidak ada Ibnu yang biasanya merusuh untuk menyuruhnya cepat-cepat, tidak ada Fariz yang biasanya sudah membuatkan susu cokelat favoritnya.

Katakan saja Galuh memang sendirian. Kedua kakaknya sedang pergi keluar dengan urusannya masing-masing. Sejak kemarin hidupnya seperti awan, luas tapi membosankan. Kegiatannya hanya pergi ke sekolah, pulang, makan, dan tidur. Padahal baru seminggu merasakan jadi anak rumahan karena ia kembali tumbang. dan kedua kakaknya juga pergi baru tadi pagi.

Galuh tidak pernah suka sendirian, Galuh tidak pernah suka di tinggal. Dia akan merasa lebih terluka, kalau sendirian. Seperti saat sekarang, harusnya sudah berangkat, tapi kini disuruh untuk menunggu Irgj.

"Gak suka kaya jomblo! Kesel, ih lagian ngepain sih, Bang Nu pake acara pergi duluan, kemahnya juga besok, kan bisa besok aja, gak suka!" dumel Galuh, sambil melangkah keluar dari dalam rumah, usai mengunci pintu, anak itu duduk sebentar di depan teras, sesekali bersenandung, siapa tahu Irgj akan datang.

Tak lama, dering ponselnya berbunyi, membuat anak itu cepat-cepat merogoh saku celana abunya. Matanya membelalak, senyumnya melebar, dengan riang ia mengusap layar berwarna hijau di sana. Terdengar suara berat Fariz yang selalu membuatnya rindu setiap saat.

"Udah sarapan ?"

"Udah Bang."

"Minum obat?"

"Udah juga."

"Tunggu Restu, bentar lagi sampai, Irgi udah duluan, lo jangan kemana-kemana."

"Dih, tadi Irgi bilang suruh tunggu, ini udah mau jam 7, gue telat nanti."

"Makanya, tungguin Restu sebentar lagi sampai, udah ngga usah bawel, nurut, kalau lo mau sekolah beneran, kaya orang sehat."

Sambungan itu terputus, bahkan Galuh belum sempat membalasnya, Fariz itu dingin, sedingin es kutub, sekaku kanebo kering, sedatar jalanan aspal, kalau boleh dijabarkan lebih banyak Fariz adalah burung rajawali yang terbang tinggi di atas sana. Tajam dan menikam.

"Mata Bulet! Ayo buruan!"

Sapa Restu yang melambai ke arahnya, Galuh tidak mau terlambat, maka anak itu beranjak dari tempatnya dan verlari kecil mendekati Restu yang ada di depan gerban rumahnya.

"Bang Res lama." protes Galuh. Tidak, Restu tidak sekejam Fariz yang akan balik memaki, justru Restu lebih suka melihat Galuh cemberut, seperti sekarang, berdiri persis di depannya. Tangan Restu sudah terulur dengan helm yang siap ia pasangkan pada Galuh.

"Tadi Fariz ngabarinnya dadakan, untung Abang belum terlalu jauh, jadi ke sini jemput lo dulu, baru ke kampus." terang Restu, usai memakaikan helm dan memastikan pengeratnya kuat. Tak lama, Galuh sudah mengambil posisi nyaman duduk dijok belakang.

Restu hanya tersenyum, tidak ingin banyak berkomentar, apalagi tadi dirinya sudah mendapat ceramah dari Fariz.
Pria itu mengatakan kalau adiknya sendirian di rumah. Nekad ingin ke sekolah padahal minggu lalu kondisi tubuhnya benar-benar menurun drastis.

Sepanjang jalan, Galuh hanya diam, bahkan ketika Restu mulai melajukan motornya tadi. Galuh tidak suka dibohongi, di bentak, dan di marahi. Anak itu akan ngambek sejadinya, kalau salah satu dari kata itu terlontar.

GALUH✔ ( PROSES REVISI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang