Dua puluh delapan 🍫 Bisakah aku menjadi senja?

329 36 50
                                    


Usai istirahat, di jam terakhir Galuh mendapat serangan dadakan, berupa ulangan harian yang siapapun pasti akan kesal jika ulanga dan sialnya  belum belajar.

Decak sebal yang sedari tadi ia lontarkan membuat Irgi dan Reka terkekeh, di tambah dengan umpatan  menyebalkan dari ketua kelas yang  menyuruh mengumpupkan buku catatan  Bahasa Inggris.

"Sabar, gue baru baca! Budeg lo?"

"Bego mah bego aja, gausah berasa jadi orang pinter buat nutupin dengan alasan sakit. Basi!"

"Lo?"

Irgi bangkit, setelah mendengar ucapan Rully, cowok yang memang kurang suka dengan hadirnya Galuh. Sejak kelas sepuluh, Rully tidak pernah menjadikan Galuh sebagai rekan, teman, atau hanya sebatas mengobrol. Bukan berarti Rully sama seperti Miko, dia justru orang yang paling anti berdebat dengan mulut pedas Galuh. 

"Ya, yang bego itu pasti juara, gak cuma ngomong dengan ending nyontek ke temen, lebih kejam mana?"

Setelah berkomentar bebas  Galuh memilih diam bangkit dari tempatnya, lalu menggeser tubuh Rully dan berjalan ke depan untuk menyimpan bukunya di meja guru. Galuh masih bisa melihat tatap kesal dari Rully, karena pada dasarnya ucapan Galuh selalu membantah dan tajam.

. . .

"Gila! Untung gak susah, lo berdua sepakat gak mau kasih tahu gue, gak gue ijinin pulang sekolah bareng!"

Gerutu Galuh, tak akan ada yang bisa menandinginya, bahkan sambal masakan Teh Una di ujung jalan sebelum ke sekolah saja, kalah pedas dari ancaman menyebalkan yang selalu membuat lawan bicaranya mengumpat. Anak itu akan pandai membalas jika  keadaan tubuhnya sudah membaik, dia selalu ingin bebas seperti burung yang terbang tinggi di atas sana, tanpa perlu mengkhawatirkan kesehatannya. Tapi, takdir selalu punya rencana yang  tak pernah manusia tahu. Bahkan setelahnya semesta juga  mendukung, maka, alam akan menyuarakan, jadilah sosok yang penurut sesuai namamu.

Ananda Haikal Galuh, sosok yang tak pernah bisa tergantikan meski hanya sebentar, mengengangnya hanya menggores luka lama. Luka ketika hadirnya pergi, luka ketika hadirnya kembali tumbang. Tak ada yang mengerti bagaimana rasa sakitnya menjelma menjadi sebuah jeritan tajam yang menusuk pendengaran.

Seperti tahun di mana ia berbaring dengan semua alat bantu yang menopang hidupnya. Perasaan bersalah  dan kecewa juga penyesalan adalah teman semasa hidupnya.  Sejatinya Galuh tak pernah ada, dia hanya raga yang bersuara  untuk orang terkasih.

Sebenarnya Galuh telah lama pergi, mungkin semua orang lupa, bagaimana Galuh, dia adalah sosok yang sulit di sentuh, sulit untuk di lupakan, dan sulit untuk menjelaskan bagaimana tawanya mengudara.

Langkah kaki itu tiba-tiba menyentak, membuat si pemilik terkejut lalu menoleh.

"Lo kenapa ?"

"Gue cuma kepikiran, tadi waktu gue ke kelasnya Galuh, gue ngerasa ada orang lain di luar sana, tatapnya seolah membunuh,  gue khawatir adek gue kenapa-napa."

"Nu,  dari tadi lo ngelamun, ini udah jam pulang, kenapa lo gak ke kelasnya aja ?"  usul Genta.

Sejak tadi yang Ibnu lakukan  hanya melamun, memikirkan bagaimana bisa bayangan tragis itu menghantui pikirannya.  Ia beranjak dari tempatnya menyambar tas yang ia letakkan di atas meja, lalu meninggalkan Genta yang masih setia duduk di dalam kelas.

Ibnu tahu, jarak kelas menuju kelas adiknya tidak begitu jauh, tapi untuk kali ini, Ibnu merasa koridor sekolah begitu melelahkan untuk cepat sampai ke sana.

Rasanya ingin berteriak sekuat tenaga, agar adiknya yang keluar dari dalam kelas, tapi tidak seperti apa yang ia harapkan. Langkahnya perlahan melambat, melihat siapa yang baru saja keluar dari dalam kelas Galuh.

GALUH✔ ( PROSES REVISI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang