Sembilan 🍫 Luluh

811 80 12
                                    

Ijinkan aku bernapas sejenak, sebelum akhirnya aku pun berlalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ijinkan aku bernapas sejenak, sebelum akhirnya aku pun berlalu.

Galuh
. .  . .


Selamat menikmati
. . . . . .

Angin bergulir menerpa wajahnya, perlahan tubuh itu goyah, napasnya seolah terhenti. Di depan sana, sosok itu menangis, sampai ia lupa kalau dia juga terluka.

Dua jam sudah ia menunggu, tapi sosoknya masih tak mau ia temui, dia terus terdiam ditempatnya, enggan untuk menjawab, apalagi untuk sekedar tersenyum.

Terakhir kali, pria itu memeluknya  semalam. Ketika ia masih dalam keadaan sadar.  Semua terlalu cepat untuk diterima. Bahkan masih sangat sulit untuk dipercaya kalau senyum itu adalah senyum terakhir yang di dapatnya.

"Galuh, keluar dulu." panggilan Brian menyerukan namanya, anak itu tak mau sama sekali untuk berpijak dari tempatnya.  Semuanya telah ia dengar, lalu untuk apa ? Untuk apa Galuh mendengar penjelasan lagi, jika semua orang tahu sedangkan dirinya tidak.

"Galuh, ayo keluar, Sayang, kita makan dulu, kamu belum makan apa-apa lho?"

Suara Desti yang juga ikut serta memanggilnya, tidak sama sekali di sahutnya, sejak dua jam tadi, Galuh hanya mendekam di kamar, setelah ia mendengar Brian dan Ibnu mengobrol tadi di  ruang tengah, Galuh tak sengaja mendengarnya dari balik pintu kamar yang tidak tertutup rapat, karena Galuh tak ingin di tinggal oleh Ibnu, selama tak ada Fariz di dekatnya.

"Luh, tolong keluar, bentar aja."

"Gue ngga mau!" 

Satu kali sahutan Ibnu itu langsung dibalasnya, entah mengapa setelahnya Ibnu merasa kalau adiknya sedang terluka di dalam sana.

"Gue balik ke rumah Papa, kalau lo gak mau keluar!" teriak Ibnu, sebelah tangannya tak henti ia gunakan untuk membuka knop pintu, sementara sebelahnya lagi untuk mengetuk, berulang kali, sampai Juniar saja terbangun.

"Ke rumah yang mana ? Rumah tanpa penghuni lagi? Mimpi lo Bang!"

Ibnu tidak tuli, Ibnu mendengar di sela ucapan itu ada isak yang begitu tajam, sampai ia sendiri bisa merasakannya.

"Gue bisa jelasin, lo keluar dulu, kasian Bang Fariz, nungguin lo di luar, Luh." katanya lagi. Ibnu tidak menyerah, membujuk Galuh bukan' kah hal yang mudah baginya?  Tapi mengapa sekarang melihat mata bulatnya saja seperti terampas dengan cepat? Bodoh! Harusnya Ibnu sadar di balik umpatab Galuh, di sana adiknya pasti sedang merintih menahan sakit. Bukan karena telat makan, kondisinya memang sedang tidak baik.

GALUH✔ ( PROSES REVISI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang