Seperti udara yang hanya dihela bukan digenggam.
.
. .
Ada jeda setelah berdebat hebat. Di hari yang semula terasa melelahkan usai diakhir pekan. Galuh memang masuk sekolah, itu pun menyesuaikan jadwal cek upnya. Anak itu tidak lagi membantah apapun, setidaknya untuk saat ini Fariz bisa merasakan damai yang begitu berbeda.Ucapan terima kasih yang biasanya jarang ia dengar dari mulut Galuh. Bahkan mustahil anak itu akan mrngucapkannya begitu lembut.
""Makasih Bang, tapi lo ngga perlu khawatirin gue terus kaya tadi. Gue udah gede, bisa jaga diri kalau ada apa-apa. Setidaknya lo sama Bang Nu bisa jaga diri kalian juga. Ngga seharusnya gue jadi prioritas terus kaya gini, gue mau bebas kaya yang lain."
Memang pelan, sangat pelan. Ucapan itu berhasil menusuk dalam hati seperti panah yang tajam dengan racun di ujungnya. Fariz bisa saja memaki anak itu, bisa-bisanya dia mengatakan hal yang seharusnya tidak perlu dijelaskan.
Dia mengatakannya ketika Fariz akan melangkah menaiki anak tangga, bahkan Fariz tak menoleh saat Galuh brrusaha duduk dengan bantuan Ibnu.
"Gue cuma mau pesen, lo undur lpwrtandingan dan kita bisa liburan setiap akhir pekan. Lo gak perlu repot buat latihan, lo gak perlu repot buat berusaha tegar kalau akhirnya lo akan sakit hati, Bang."
"Luh, lo lagi ngga mau kasih ucapan salam perpisahan, kan? Ini bukan lo banget." sela Ibnu, Galuh melirik sebentar lalu tersenyum matanya ikut menyipit, dia terkekeh.
"Perpisahan, lo pikir gue mau kemana ? Gue masih ada di depan lo gini. Gue kesel aja, punya Abang selalu sibuk, padahal gue ngga perlu di jagain dengan cara yang menyebalkan, cukup ada di sisi gue itu jauh lebih aman. Ah gue salah, kayanya gue emang ga seperti apa yang dia pikirin."
Galuh memilih bangkit dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya. Anak itu berjalan meninggalkan Ibnu yang terpaku ditempatnya, membiarkan Galuh berlalu seperti angin yang berhembus.
"Kalau lo pikir gue protektif, gue akan kabulin, lo bebas pergi sesuka lo dan ingat satu hal, jangan pernah katakan kalau lo sakit depan gue."
"Riz! Lo apaan sih, Galuh tungguin."
Teriak Ibnu, cowok itu seolah tersengat listrik brtegangan tinggi, dia begitu kesal mendengar ucapan Fariz yang tak pernah lembut. Untuk pertama kalinya Fariz bersikap sedingin es pada Galuh tepat di depan mata Ibnu. Sementara anak itu sudah menghilang di balik pintu utama.
Fariz menunduk setelah mengatakan itu, kakinya melemas bahkan pijaknya seperti menghilang saat itu juga. Rasanya malam seperti neraka yang begitu panas, membiarkan amarah meluap begitu saja.
🍫🍫
Malam yang begitu panjang terasa seperti debur ombak ditepi pantai. Tak pernah tahu kapan akan usai.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALUH✔ ( PROSES REVISI )
Novela Juvenilluka adalah dia yang tak mau berjuang, bukan karena tak mampu, hanya saja waktunya tidak cukup untuk menyelesaikan semuanya. Namanya menggema di mana-mana, tapi tidak dengan jiwanya yang pergi lebih dulu. Berharap akan ada keajaiban, namun semuany...