Lima 🍫 Irama Dansa

976 99 27
                                    

Dulu, sebelum kelahiran Galuh, Fariz hanya ingin berteman dengan senja, tidak peduli kalau akhirnya senja akan pergi. Dia yakin kalau esok senja pasti kembali. Tapi, ketika ia masih sangat belia, Fariz di kabari oleh Papanya kalau Bunda telah melahirkan.

Papa bilang Bunda masih lemah, Bunda belum boleh di jenguk, untuk itu Fariz memilih untuk tetap di rumah, bersama Ibnu yang pendiam. Ibnu adalah satu-satunya adik Fariz yang paling jarang berbicara dengannya, kecuali dalam keadaan mendesak.

Ibnu ingat, Ibnu tidak melupakan hal itu. Bahkan di setiap malam Ibnu dan Fariz berdiri bersebelahan, tidak menyapa sedikitpun, apalagi untuk mengobrol memecahkan hening di antara keduanya.

Namun, seolah semesta berbicara, kehadiran Galuh membawa kisah tersendiri diantara mereka. Memberikan sedikit celah untuk Fariz agar dia mau melunak, tidak sedingin es ketika ditanya, tidak sekeras batu ketika di tatap.

Awalnya Ibnu ragu, beberapa tahun berlalu sampai mereka tumbuh bersama. Ibnu sadar, kalau semua bukan karena Galuh, mungkin hari ini ia tidak bersuara ketika dihadapan Fariz.

Jam sepulang sekolah tadi, Ibnu mengantar Galuh pulang, pria itu menadapat kabar dari Irgi dan Reka kalau Galuh pingsan di lapangan ketika jam olahraga berlangsung. Ibnu tidak bisa menolaknya, tapi ia juga harus menyelesaikan mata pelajaran terakhir sebelum akhirnya bel berbunyi. Ibnu yakin, kalau adiknya pasti baik-baik saja.

"Lo kenapa lagi?" Suara lantang yang memecah hening diantara mereka, mulai terlihat, langkahnya begitu cepat dan sedikit terhenyak ketika mendapati wajah Galuh yang lagi-lagi pasi.

"Adek lo, nekat nerobos panas terik di lapangan, dengan alasan bosan di kelas." sambar Ibnu cepat. Fariz yang memang pulang lebih awal, tidak memberi kabar kepada Ibnu, untuk menjemput mereka.

"Lo, tumben di rumah? Biasanya magrib baru balik." selidik Ibnu. Tak mau basa-basi Fariz langsung mengambil alih Galuh, untuk dibawa ke dalam kamarnya.

"Bang?"
Fariz menoleh sebentar, lalu berlontar sedikit menyakitkan untuk Ibnu dengar.

"Lo gak becus, dia bukan kepanasan, pasti habis makan pedes. Iya'kan?"

Kali ini Ibnu diam, apa yang Fariz bilang benar, alasan terbesarnya Galuh memang sempat makan yang pedas, padahal ia tahu, adiknya tidak akan kuat untuk menahan perihnya ketika penyakit lambungnya sudah naik.

"Gue, udah larang, dianya aja yang susah dibilangin." pekik Ibnu, tak terima. Ibnu kesal, karena ia sudah berusaha, tapi, semua orang tahu, keinginan Galuh adalah mutlak. Tidak bisa di tolak, apalagi dibantah.

"Elo yang harusnya nahan, bukan membiarkan. Udahlah, lo emang gak berguna." ucap Fariz pelam, dan begitu santai, tapi Ibnu bisa mendengarnya dengan jelas, kalau dibalik punggung itu Fariz sedang meredam amarahnya setengah mati agar tidak tumpah dihadapan Galuh, yang memang sudah lemas, berdiri saja anak itu sudah tidak sanggup.

"Bukan salah Bang Ibnu, Bang." suaranya terdengar samar untuk Ibnu dan Fariz. Tapi, sekali lagi, mata bulat Galuh membuat Fariz mendesah kasar, ketika adiknya mendongak menatapnya.

"Dia udah larang gue, udah mau di makan juga, tapi gue-nya aja yang ngeyel." tutur Galuh.

Fariz tidak bisa berlontar lebih banyak, lalu ia pun merebahkan tubuh ringkih adiknya diatas tempat tidur, ketika sampai di dalam kamar.

"Lo selalu belain Ibnu, barang sekali lo gak usah belain dia, bisa?" kata Fariz. Galuh terkekeh. Anak itu mencoba bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah umtuk melakukan hal yang ringan.

"Justru Bang Ibnu yang bantuin gue seharian di sekolah tadi." jawab Galuh. Fariz lagi-lagi kehilangan kata, anak itu selalu memiliki cara untuk membalas apa yang kakaknya ucapkan.

GALUH✔ ( PROSES REVISI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang