Sial.
Sialsialsialsial—
Keringat dingin membasahi dahi Dorothea. Mukanya memucat. Hampir sama dengan hantu yang bisa dia lihat.
Apa yang harus aku lakukan?
Hikaru tampak menggeliat. Netranya mengerling. Kacamatanya retak. Dan kedua manik cokelat itu—
Takut.
Dia takut.
Apa yang harus aku lakukan?
"Waktu kita tidak banyak, Nak," desis si wanita bertudung.
"Sekarang berjalanlah kemari. Perlahan. Kalau tidak—"
Ancaman itu menggantung. Pisau ular mendekati leher Hikaru. Sebagai empasis.
Tubuh Dorothea bergetar. Dia berusaha melangkah. Memaksakan untuk mengangkat kaki. Otaknya terus menjerit untuk kabur.
Tapi dia tidak bisa.
Dia tidak bisa pergi. Tidak tanpa Hikaru.
"D...oro...thea..."
Suara Eins membuat gadis itu terkesiap. Terdengar statik. Seperti radio rusak. Hawa dingin Eins samar. Tetapi dia ada di sampingnya.
Dorothea tidak berani menoleh.
"Be...nan..g...pi...sau..."
Sekujur tubuh Dorothea terasa kaku. Namun dia memaksakan satu langkah lagi. Wanita di depannya tampak tidak sabar. Suara napas Dorothea memburu. Bercampur dengan suara kerumunan yang terdengar jauh. Otak gadis itu berputar.
Apa maksud Eins?
Apa aku harus menarik pisau itu dengan benangku?
Tapi aku bisa melukai Hikaru!
Pikir, Dorothea, pikir!
Kalau dia menjatuhkan pisaunya—
Dan mata Dorothea membulat. Langkahnya terhenti. Dia mungkin bisa—
Kau belum pernah melakukan ini sebelumnya.
Suara pemberontak itu terngiang di telinga.
Dorothea menepisnya.
Ada saat pertama untuk segalanya.
"Kenapa kau—ARGHH!"
Sesuatu berkilat di udara.
Benang.
Benang yang sangat tipis.
Cukup tajam untuk memotong.
Tangan wanita itu berdarah. Belati terjatuh dengan bunyi berdentang. Pegangannya pada Hikaru longgar. Gadis itu mengambil kesempatan.
Hikaru menendang tulang keringnya.
Orang itu meraung. Dia terjengkal. Jatuh kebelakang. Memegangi kaki dengan tangan yang berlumur cairan merah.
"KALIAN JALANG KECIL—!"
Kedua gadis itu tidak menunggu untuk mendengarkan. Segera berlari sekuat tenaga.
Menghilang dari tempat itu.
***
Mereka sudah cukup jauh. Berhenti untuk mengambil napas. Keduanya terengah-engah. Muka mereka masih pucat.
Jalan sudah kosong. Sepertinya semua orang sudah dievakuasi. Tinggal mereka berdua manusia hidup disana.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Eins. Suaranya normal. Namun tubuhnya masih berkedip. Sepertinya masih terpengaruh efek garam tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal (A BNHA Fanfiction)
Fanfiction[ Original Character(s) + Plotline ] Dorothea Tuning pindah bersama Ayahnya dari London yang selalu mendung dan kelabu ke Jepang. Dia pikir ini akan menjadi awal baru setelah Ibunya meninggal. Dia siap pergi ke negara asal ayahnya, pergi ke sekolah...