Selamat malam temans ... yuk, yuk, temannya dr. Satrio merapat. Kuyy ...
Satrio mengikuti kegiatan bakti sosial ke daerah terpencil. Sedikit banyak dia merasa terhibur dan melupakan rumah tangganya yang sedang tidak baik-baik saja. Kesibukan luar biasa yang dilakukannya bersama dengan rekan-rekan kerjanya terbukti ampuh untuk melalui hari dengan bahagia.
Perubahan musim dengan cuaca yang cukup ekstrim membuat pengobatan gratis disambut warga setempat dengan antusias. Rata-rata dari mereka sakit flu, kulit, dan diare. Kedatangan para dokter ini dinilai cukup membantu warga masyarakat yang menganggap bahwa flu akan sembuh dengan sendirinya.
Masyarakat juga antusias pada penyuluhan tentang keluarga berencana dan pentingnya mengatur jarak kelahiran demi kesehatan ibu dan anak. Imunisasi gratis juga diberikan kepada balita yang membuat para ibu senang. Ada juga yang mengkonsultasikan beberapa anak pilek dan tidak kunjung sembuh setelah beberapa minggu.
"Sat, ayo pulang," ajak Raphael yang tampaknya sudah selesai dengan pekerjaannya.
Satrio melirik Raphael sekilas. "Nunggu bidan-bidan, kasihan kalau ditinggal karena yang lain sudah pulang duluan," jawabnya. "Lagian kenapa tadi nggak nebeng Denok?"
"Gundulmu nebeng, lebahku cemburu habislah aku," omel Raphael. "Kayak nggak tau aja dia gimana."
Satrio terkekeh. "Dia nggak segitunya, aku tau banget hal itu." Diberikannya segelas air mineral pada Raphael, "Kecuali kalau kamu jalan sama orang yang nggak dia kenal."
"Sat, dengar!" Raphael memutar kursinya menghadap Satrio. "Cemburu atau enggak yang namanya perasaan istri itu dijaga. Nggak bisalah aku bareng siapa aja semauku, terlebih perempuan. Semengerti-mengertinya lebah cantikku itu, namanya hati siapa yang tau? Lebih baik aku jaga itu daripada dia menumpuk emosi yang meskipun sedikit akan bahaya juga kalau dibiarkan terlalu lama."
"Sok bijak," cibir Satrio. "Emosi apa bisa numpuk."
"Manggilnya bayiku sayang, tapi nggak belajar sama sekali kepinterannya. Payah."
"Yang psikolog kan dia, ngapain aku pusing coba. Dia cocoknya sih sama Erik espekaje, ingat dia kan?" tanya Satrio jenaka.
"Ayo pulang, tuh 2 bidanmu udah jalan ke mobil." Raphael tidak menanggapi ocehan Satrio.
Bersamaan mereka bangkit dari duduknya dan meninggalkan lokasi baksos setelah berpamitan dengan kepala desa. Satrio menolak halus ketika mereka menawari sayuran untuk dibawa pulang. Saat mereka memaksa, Satrio bersikeras membayar apa yang dia bawa karena menurutnya itu adalah dagangan dan jangan sampai penduduk desa itu merugi.
Satrio mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang di tengah jalanan yang tidak begitu ramai. Di sampingnya, Raphael duduk sembari menekuri ponselnya tanpa memedulikan obrolan dua bidan di belakang mereka. Satrio fokus ke jalan ketika matanya menangkap pedagang es tebu hijau di pinggir jalan. Satrio menepikan mobilnya dan berhenti tak jauh dari gerobak es.
"Raph, belikan es tebu itu 3 botol," pintanya.
Raphael melirik pada Satrio lalu ke pinggir jalan melalui spion. "Tingkahmu, Sat. Lagian tumben banget sih pengen begituan," omel Raphael.
"Buat Ocean. Dia suka es tebu hijau."
"Ngomong dari tadi, kalau buat perempuan malang itu aku mau belikan. Kalau buatmu ... sampai kau teriak pun aku nggak akan belikan." Raphael membuka pintu mobil dan turun membeli es tebu.
"Dokter Satrio sayang istri, ya. Lihat gitu aja langsung ingat istrinya," ujar salah satu bidan dari jok belakang.
"Iya, manis banget, sih, Dok," kata yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Kedua
RomanceCover by @henzsadewa Terkenal cerdas dan bertangan dingin dalam menangani seluruh kasus pasiennya tidak membuat Satria beruntung dalam cinta. Wanita yang dia nikahi mencintai pria lain. Pernikahan yang penuh kesalahpahaman itu membawa Satria menemu...