Melupakan masa lalu bukanlah perkara yang mudah. Semakin dilupakan, justru malah semakin teringat. Itulah yang Biru rasakan setelah ikatan hubungannya dengan Angkasa benar-benar terputus.
Biru tidak mau munafik dengan mengatakan bahwa ia membenci Angkasa, terlepas dari apa yang cowok itu lakukan terhadapnya. Perasaan benci itu memang sempat hadir walau sesaat, lalu hilang setelah Angkasa pergi dari hidupnya. Pada saat itu seluruh memorinya tentang Angkasa selalu terputar kembali dalam ingatan, dan Biru menyadari betapa ia menyayangi Angkasa meski kenyataannya cowok itu telah menorehkan luka cukup dalam.
Terkadang cinta memang selucu itu.
Hampir dua belas bulan penuh Biru habiskan tahun terakhir SMA-nya dengan keadaan hati yang sudah tidak tertata lagi seperti sedia kala. Selama itu seringkali Biru habiskan dengan duduk termenung sambil bertanya-tanya pada semesta.
Kenapa Angkasa berubah?
Kenapa Angkasa tega melakukannya?
Kenapa Angkasa mengkhianati kepercayaannya?
Kenapa harus Angkasa?
Kenapa?
Kenapa?
Dan Biru harus menerima kenyataan bahwa ia takkan mendapat satu pun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, karena sejak Angkasa memutuskan untuk pergi, ia betul-betul tidak pernah kembali. Biru akhirnya menyerah. Ia terlalu lelah untuk terus mengharapkan sesuatu yang belum tentu akan dikabulkan oleh dunia. Sedikit demi sedikit Biru mulai bangkit, berusaha menerima semua yang terjadi, termasuk merelakan Angkasa.
Sayangnya Biru lupa bahwa semesta tidak pernah tertidur. Ia telah mendengar semua pertanyaan-pertanyaannya, harapan-harapan kecilnya, bahkan sebelum Biru memutuskan untuk tidak lagi melihat ke belakang. Waktu yang tepat telah ditentukan, dan pada akhirnya Angkasa kembali menampakkan sosoknya yang telah lama hilang, barangkali memang untuk memberikan jawaban yang sebenar-benarnya pada Biru.
Biru tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan perasaannya. Kemunculan Angkasa terlalu tiba-tiba. Sebagian dari dirinya menolak untuk menerima kehadiran cowok itu lagi. Namun, sebagian yang lain justru menginginkan yang sebaliknya. Biru tak tahu apa ia bisa untuk kembali menghadapi Angkasa, tapi Biru merasa bahwa kali ini ia memang harus membuka telinganya lebar-lebar dan mendengar apa pun yang terucap dari mulut Angkasa.
Maka dari itu, untuk kali ini saja, Biru membiarkan dirinya terjebak dalam situasi di mana Angkasa berada di dalamnya.
"Kamu sakit, Bi," kata Angkasa setelah mengecek suhu tubuh Biru yang terduduk di sebelahnya. Sorot matanya menampilkan kekhawatiran nyata. "Apa nggak sebaiknya kamu langsung pulang dan istirahat? Aku antar, ya?"
Biru menggeleng lemah. "Nggak usah peduliin gue," cetus Biru datar. Padahal dalam hatinya Biru memang sudah merindukan kasur di kosnya. Dan tubuhnya memang benar-benar perlu diistirahatkan. "Ayo, cepet, lo mau bilang apa? Nggak usah buang-buang waktu."
Mendengar intonasi yang jauh dari kata bersahabat itu membuat Angkasa hanya bisa menarik napas dalam dan meloloskannya perlahan. Sebelum memulai penjelasan panjangnya, Angkasa melepas jaket yang ia kenakan untuk menyelimuti tubuh Biru. Cewek itu--untungnya--tidak menolak, meski tidak ada perubahan berarti dari raut wajahnya yang dingin.
Sepertinya Angkasa harus membuat semuanya lebih cepat dari yang ia kira karena Biru bersikeras untuk tetap mendengarnya, meski kondisi tubuhnya sedikit mengkhawatirkan. Angkasa tentu tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Biru.
Angkasa menarik napas dalam. Tatapannya mengunci Biru. "Aku menyesal."
Kedua bola mata Biru kontan bergerak ke arahnya dengan segala tanya di dalamnya. "Menyesal? Menyesal udah selingkuhin gue? Menyesal udah ninggalin gue? Atau ... apa?" terka Biru bertubi-tubi.
"Bi, demi Tuhan, aku nggak pernah selingkuh," ucap Angkasa dengan sorot putus asa. "Aku terpaksa ... karena aku udah kehilangan cara buat bikin kamu benci sama aku. Makanya waktu itu aku minta Rania buat pura-pura jadi pacar keduaku. Aku tau aku salah, nggak seharusnya aku kayak gitu. Tapi ... aku nggak mau orangtuaku yang bergerak lebih dulu kalau mereka tau aku masih belum pisah sama kamu."
Orangtuanya...? Biru benar-benar tidak mengerti sekarang. Kenapa orangtua Angkasa sampai terlibat?
"Mereka sebenernya nggak suka aku punya hubungan sama kamu, Bi," lanjut Angkasa dengan senyum kecut. Kepalanya menengadah menatap semburat jingga di langit sore. Pandangannya berubah seolah menerawang. "Aku nggak pernah kasih tau kamu karena takut bikin kamu sedih. Apalagi saat itu kamu masih SMA. Aku takut apa yang mereka pikirin tentang kamu malah bikin kamu down. Makanya ... aku pikir lebih baik kamu benci aku biar segalanya lebih mudah."
Angkasa kemudian terus melanjutkan penjelasannya. Bagaimana dirinya berusaha mati-matian mempertahankan hubungan mereka meski orangtuanya tetap tidak bisa menerimanya. Bagaimana dirinya membela Biru di hadapan mereka. Bagaimana dirinya dihadapkan oleh dua pilihan yang--jelas sekali--tidak akan menguntungkan kedua belah pihak: Meninggalkan Biru, atau menyaksikan hidup Biru hancur jika dirinya bersikeras untuk tetap mempertahankan hubungan mereka.
Saat itu tidak ada yang lebih baik dari pergi dari kehidupan Biru daripada melihat perempuan yang dicintainya tersakiti dengan cara yang entah seperti apa, di usia yang masih sangat muda. Tanpa Angkasa ketahui bahwa nyatanya di kemudian hari justru ialah yang akan menjadi pelaku utamanya.
Biru terdiam lama sekali setelah mendengar semuanya. Semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini. Ia masih tidak menyangka soal orangtua Angkasa yang ternyata menentang keras hubungan mereka. Dan entah kenapa, Biru merasa benang kusut dalam kepalanya masih belum bisa diluruskan. "Lalu ... apa yang kamu sesali dari semuanya?" lirih Biru yang tanpa sadar mengganti panggilannya.
Cukup lama Angkasa terdiam sebelum akhirnya memberi jawaban, "Aku ... menyesal karena lebih milih buat nyerah sama keadaan daripada memperjuangkan kamu, pilihanku."
- - -
author's note:
awalnya aku nggak kepikiran sama sekali bahwa alasan mereka putus tuh kayak yang udah dijelasin di atas. tapi setelah dipikir-pikir ... karena mereka biru dan angkasa, mereka nggak mungkin putus karena alasan yang sepele.
dan ... yah, gitu deh jadinya, hehe. kalo belum jelas, tunggu bab selanjutnya oke? bakal ada cerita versi selina yang dia dengar langsung dari angkasa yang mungkin bakal lebih mudah buat dimengerti(?)
oke deh, see you on the next chapt!
oh iya, selamat hari raya idul adha yaa buat kalian yang merayakan ❤
with love,
dindaarula.
(31 juli 2020)
KAMU SEDANG MEMBACA
Unsaid Words [END]
عاطفيةKatanya, pertemanan antara lawan jenis itu tidak mungkin murni hanya berteman. Sebab katanya, salah satu dari mereka pasti ada yang menyimpan rasa. Namun, tampaknya hal itu tidak berpengaruh pada Biru dan Sam yang sudah berteman dekat sejak keduanya...