Dr. Haruno.
Setidaknya begitulah orang-orang di rumah sakit ini memanggilku. Sebenarnya tidak semua orang, tapi beberapa dari mereka jelas berkelaku formal maupun dengan terang-terangan sengaja membangun sebuah dinding besar saat berinteraksi denganku. Aku tidak mempermasalahkan hal itu, tentu saja. Dan sebagian lainnya akan menggunakan panggilan manis seperti, dr. Sakura, atau hanya Sakura. Setidaknya sejauh ini yang memanggilku dengan nama kecilku (di rumah sakit) adalah dr. Utakata dan dr. Shizune.
Hanya mereka berdua orang di rumah sakit yang seolah-olah merentangkan tangan lebar untuk memberiku sebuah tempat yang nyaman di sini. Aku sangat bersyukur karena setidaknya dalam drama kehidupanku tidak ada banyak lakon antagonisnya. Justru, mereka berdua memperlakukanku seperti adik bungsu. Selama shift kami sama, mereka tidak akan melewatkan makan siang tanpa mengajakku, atau Utakata yang akan memberiku tumpangan pulang karena kami tinggal di gedung apartemen yang sama. Dia sangat manis.
Kalau mereka berdua menganggapku sebagai adik bungsu, maka dr. Onoki—penanggung jawab di UGD—memperlakukanku selayaknya anak tiri yang disia-sia. Aku memang tidak berharap agar pria jelek-pendek-tua yang mirip dengan jamur enoki itu memperlakukanku manis seperti ia memperlakukan dr. Tsunade. Tapi aku benar-benar merasa kalau ia memperbudakku. Yeah, kukira itu hanya sekadar basa-basi menyuruh pendatang membelikan kopi di Starbucks samping rumah sakit, tapi justru perbudakan ini berlangsung hingga sekarang.
Sudah seminggu aku bekerja di Rumah Sakit Senju dan sudah empat kali dr. Onoki "meminta" tolong untuk dibelikan americano. Sialan sekali. Kurasa dia benar-benar memanfaatkan posisinya sebagai penanggung jawab UGD dengan baik dan aku hanya seorang dokter umum kentang di ruangannya. Terkadang Shizune mengasihaniku, tapi ia tidak bisa berbuat banyak selain menemaniku pergi membelikan americano. Dr. Onoki memang sangat disegani oleh seluruh pekerja di rumah sakit ini.
"Kukira, aku akan menunggu selamanya."
Aku memberikan secup americano pesanannya itu saat ia berbicara dengan nada yang cukup sarkas. Aku memang sengaja melambat-lambatkan jalanku tadi, agar ia kapok, tapi kurasa itu ide yang buruk. Kalimat yang dilontarkan untukku benar-benar cemoohan yang membuat beberapa staff di sini menjadikanku pusat perhatian. Aku tampak seperti orang yang sangat mengecewakan dan tidak becus untuk dimintaitolong. Terima kasih banyak, dr. Onoki.
Aku menggaruk belakang kepalaku hingga membuat rambut sebahuku sedikit berantakan. "Pelayanannya tadi memang sangat buruk. Kurasa dia orang baru." Alasan yang bodoh, Sakura.
Dr. Onoki benar-benar tidak memedulikan kalimatku. Ia meniup pelan kopinya dan menghirup aromanya. Benar-benar seperti kakek-kakek yang sudah seharusnya menikmati masa senjanya di perapian. Tapi faktanya, yang menua hanya wajahnya. Tentu saja, orang sepertinya tidak pantas punya kulit semulus bokong bayi.
"Ada hal yang ingin kau sampaikan lagi, dr. Haruno?" Aku sedikit terkejut mendengar suara tenang dr. Onoki yang tiba-tiba menginterupsi. Dia masih dengan posisi sama, membuatku sedikit gelagapan. Sebelum aku bisa menemukan kalimat penyelamat, ia telah melanjutkan, "Kau boleh berkemas. Shiftmu berakhir seperempat jam lagi, kan?"
Peraturannya, pekerja tidak boleh meninggalkan rumah sakit sebelum rekan pengganti shift datang. Tapi yeah, dr. Onoki hanya menyuruhku mengemasi barang-barang. Maka aku tanpa protes dan masih sanggup bersikap sopan, pergi meninggalkannya dan americano.
Setelah berhasil menghabiskan waktu dengan bermain 2048 hingga bateraiku sekarat, shift delapan jamku berakhir. Matsuri, dokter umum yang juga merupakan pendatang dari Tsuna tersenyum semangat begitu kami bertemu pandang. Dia temanku saat masih kuliah, tapi kami tidak cukup akrab karena dulu aku terlalu berengsek untuk berteman. Bisa bekerja di tempat yang sama dengan teman seperjuangan dulu benar-benar membuatku lumayan senang, hanya saja dia tidak dijadikan babu oleh dr. Onoki. Huh, lucky bitch.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delicate ✓
FanfictionAku bersumpah mendengar jelas nada super bahagia dari ibuku yang meneleponku dengan kabar kalau pacarku melamarku. Hey, aku bahkan tidak punya pacar!