Aku mungkin akan menonjok Sasuke lagi karena dengan seenak jidatnya, ia menyeretku menuju kamar ibunya yang sedang dirawat di sini. Maksudku, aku bisa meronta, tapi tidak di hadapan banyak orang rumah sakit. Bahkan mereka sudah menatap kami dengan seolah-olah telah merekamnya untuk dijadikan bahan gosip hari ini, misalnya seperti; si culun dr. Haruno baru saja digandeng oleh pengusaha besar—Sasuke Uchiha. Yeah, aku sudah punya firasat soal itu.
"Aku butuh bantuanmu, Sakura."
"Bodoh amat!"
Ia menatapku dengan sedikit frustasi dan oh, betapa aku tidak bisa berpaling dari memar di wajahnya. Wajahnya seperti tengah menahan sesuatu, kurasa rasa ingin menonjokku balik atau bahkan melemparku hingga jatuh dari lantai enam ini. Tapi kemudian ia bersuara dengan nada dalamnya, "Temui ibuku—"
"Sial, Sasuke," potongku saat mendengar kata ibu keluar dari bibirnya, aku sudah punya firasat yang lebih buruk tentang ini. "Jangan bilang kau telah mengatakannya pada ibumu juga," lanjutku.
Kalau ia memang telah memberi tahu ibunya seperti apa yang diberitahunya kepada ibuku, maka aku mampus. Maksudku, dua orang ibu tengah dipermainkan Sasuke tentang rencananya yang menikahiku ini. Dan anggukan Sasuke membuatku mengutuknya sekali lagi, berupa bisikan dengan penuh penekanan. "Bangsat!"
Dia menatapku dengan kernyitan alis seolah menyesalinya—tapi aku tahu dia tidak menyesal. "Kau boleh tonjok aku lagi setelah menemui Ibuku."
Dia kira dia sedang berhadapan dengan siapa dengan membujukku seperti itu? Petinju berusia lima tahun? Duh. "Tidak."
"Sakura," panggilnya pelan sembari menahan lenganku sebelum aku bisa pergi meninggalkannya. "Sebentar saja."
Aku mengernyit. Menuruti keinginannya seperti ini sama sekali tidak ada keuntungannya buatku, tapi siapapun yang bisa melihat wajah Sasuke Uchiha sekarang ini pasti tidak akan bisa mengabaikan permintaannya. Maka setelah menghembuskan napas pelan, aku berucap, "Dua kali."
"Hn?"
"Tonjokan di wajah."
Kulihat sebelah sudut bibir Sasuke bergerak kecil—aku tahu dia ingin melakukan negosiasi perkara tonjokan. "Tapi jangan di hidung."
Aku menahan seringaiku, sampai Sasuke berbalik untuk membuka pintu kamar ibunya. Aku memang masih kesal padanya, maksudku serius, apa yang telah Sasuke lakukan adalah kesalahan terbesar yang melibatkan orang tuaku (aku tidak terlalu peduli pada ibunya karena itu memang di luar tanggung jawabku).
Ibuku adalah tipe orang yang benci dibohongi (kurasa semua orang juga begitu), apalagi tentang hal sesensitif ini. Dia memang tidak pernah memaksaku untuk menikah atau bahkan menanyai pacarku dulu, tapi aku mau realistis di sini—setelah mendengar nada super bahagia dari ibuku di telepon semalam. Aku yakin kalau Ibuku akan merasa super senang kalau punya menantu seperti Sasuke.
Dan lihatlah dia sekarang, menghampiri ibunya—Nyonya Uchiha yang setengah berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan gips di kaki juga tangannya. Wajahnya yang menua tampak pucat dengan bekas memar di sana-sini.
"Memang tidak ada yang peduli, termasuk Kakak iparmu yang kurang ajar itu!"
Aku mengernyit mendengar sedikit pekikan dari Nyonya Uchiha itu, pun dengan gumaman Sasuke yang kurasa tengah menenangkan ibunya sendiri. Saat di perjalanan menuju rumah sakit tadi, Sasuke bilang kalau ibunya tengah ngamuk, tidak tahu pasti tentang apa tapi berkat amukan Mikoto Uchiha ini, kamar kelas satunya terhiasi oleh ceceran makanan rumah sakit. Aku kasihan pada perawat yang menanganinya.
"Dia siapa?"
Aku sedikit tersentak merasakan kalau tengah dimention oleh Nyonya Uchiha. Ia menatapku—lebih tepatnya menilik dari kepala hingga ujung kakiku seperti petugas kedisiplinan di sekolahku dulu. Sasuke juga menoleh ke arahku yang masih berdiri di samping pintu seperti patung selamat datang bodoh dengan wajah galak, kulihat ia tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delicate ✓
FanfictionAku bersumpah mendengar jelas nada super bahagia dari ibuku yang meneleponku dengan kabar kalau pacarku melamarku. Hey, aku bahkan tidak punya pacar!