xv

3.4K 453 24
                                    

Aku tidak bisa melemaskan otot-otot kelopakku yang sejak tadi melotot begitu melihat pantulan tubuh bagian belakangku dari cermin kamarku—aku hanya belum terbiasa dengan pakaian seterbuka ini. Dan Ino masih di sini, mempersiapkan segala hal yang menurutnya perlu ia persiapkan, seolah-olah ia adalah ibuku yang benar-benar excited untuk hari pertamaku masuk sekolah.

Aku memegangi dadaku semberi pada Ino, "Kau yakin putingku tidak terlihat?"

Ino mendengus, kemudian ia mendekat untuk memutar tubuhku hingga aku menghadap pada cermin itu sendiri. "Lihat? Bahkan dadamu tidak cukup menonjol untuk terlihat."

"Hey, body shaming!"

"Aku cuma mengatakan sebuah kenyataan." Ino kemudian bergerak mundur untuk mengaitkan kancing yang ada di bagian tengkukku. "Kurasa Sasuke sudah tahu kalau dadamu tidak akan membuatnya panas, maka dari itu ia memilih dress ini. Harus kuakui, kau punya pundak yang bagus."

Aku mencibir. "Aku tidak punya rencana apapun untuk membuatnya terbakar, jadi tolong jangan kotori pikiranku."

Ino terbahak. Sedang aku masih berusaha untuk menyamankan dadaku yang bersentuhan langsung dengan kain hitam ini. Kata Ino, tidak akan lucu kalau aku memakai bra saat dress yang kupakai ini adalah backless. Pengait bra yang terlihat justru akan menjadi pusat perhatian orang-orang kecuali putingku yang tidak terlihat menonjol. Tapi meski begitu, aku tetap merasa kurang nyaman.

"Aku jadi teringat," celetuk Ino tiba-tiba, membuatku yang sejak tadi fokus pada pantulanku di cermin menoleh untuk menatap wajah gelinya. "Saat aku mengajukan surat resign, Sasuke memang tampak sangat terkejut. Dia mengajukan banyak sekali pertanyaan melebihi pertanyaan saat interview dulu. Lalu ada satu pertanyaan gila yang benar-benar out of topic."

Ino sengaja menggantungkan kalimatnya itu, kurasa. Karena yang dilakukannya sekarang adalah mengamatiku yang benar-benar fokus padanya. "Apa?"

"Dia bertanya, apa Sakura yang menyuruhmu resign?, hahaha."

"Sinting."

"Serius," timpa Ino masih berwajah geli. "Kemudian aku menceritakan semua rencanaku padanya dan dia bisa menerima itu. Dia pria yang sangat supportive asal kau tahu saja."

Aku mendecih pelan. "Dia pasti sedang cari muka."

Ino dengan sangat tiba-tiba menjitak belakang kepalaku. "Kalau kau sebegitu bencinya pada Sasuke, aku bisa jamin alam akan mengutukmu dengan kutukan cinta." Ino menyeringai sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada—seolah-olah ia lah yang akan mengutukku. "Bayangkan kalau tiba-tiba kau berbalik mencintainya. Berharap sedetik tidak pernah terlewatkan tanpa ada Sasuke di sisimu, sampai kau tidak bisa menikmati sisa hidupmu tanpa mendengar suara beratnya yang sangat seksi itu."

Aku merotasikan kedua bola mataku bosan mendengar khayalan Ino. Memilih untuk pergi ke luar kamar untuk menyiapkan sepatuku. Ankle boots berwarna hitam kuambil dari rak dekat pintu, kubawa menuju sofa. Ino datang dengan membawakan sling bag berwarna tortillaku yang kemudian diletakkannya di sampingku.

"Kau tidak akan memakai sepatu lain?" tanyanya sembari mengamatiku mengikat tali bootsku.

Aku mengulum senyum geliku. "Nope."

***

"Aoda mana?" aku bertanya saat Sasuke membukakan pintu penumpang di samping pengemudi untukku.

Kulihat ia menyeringai kecil dengan menatapku. "Sepertinya kau sangat menyukainya."

Ketimbang dengan Sasuke? Tentu saja aku lebih menyukai lelaki sesopan Aoda. Tapi aku tidak menyuarakan sebuah fakta itu di depan Sasuke langsung, dan hanya mengangkat bahu singkat sembari memosisikan diri dengan nyaman di kursi penumpang. "Cuma bertanya."

Delicate ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang