"Sori, tapi aku bukan yang seperti itu."
Ia mengernyit saat mendengar balasanku. Caranya duduk begitu nyaman menghadapku. "Apa maksudnya dengan seperti itu?"
Oke, dari apa yang kudengar, aku merasa kalau dia telah salah paham padaku. Dengan dia berkata padaku 'itu tidak gratis', rasanya kalimat itu bisa bermakna seperti itu jika dikatakan di tempat sepanas kelab malam. Dan dari tatapan instensnnya, aku bisa tahu kalau dia sama saja dengan bapak-bapak buncit tadi. Bedanya, ia terbungkus oleh paras seksi dan suara dalam yang membuat bulu-bulu telinga bergoyang.
Maka aku sedikit mencondongkan tubuhku padanya dan ia ikut melakukan hal yang sama seolah siap mendengar bisikanku. "Kurasa kalau kau mau pelayanan blow job, kau bisa mendatangi langsung pemilik kelab ini. Aku mengenal pemiliknya, jika itu bisa membantumu."
Dia mendenguskan tawanya mendengar itu. Tatapannya yang intens berubah geli. "Aku tidak mencari perempuan untuk blow job."
"Benarkah? Lalu untuk apa?"
Kini gantian ia yang menyondongkan tubuh seksinya, siap membisikkan sesuatu padaku. "Dinikahi."
"Pfttt!" Aku menutup mulutku dengan telapak tangan sembari kembali menegakkan punggungku. Maksuku apa-apaan daddy jokesnya itu? Baru kali ini aku mendengar guyonan seburuk itu. "Tapi kalau ada yang mau melakukan blow job, kau tidak bisa menolak juga, kan?" balasku.
Dia lagi-lagi tersenyum geli. Aku belum bilang kan kalau senyumnya sangat manis untuk ukuran pria dewasa? "Apa aku terlihat sedang kelaparan?"
Aku mengangguk pasti. "Dengan kau bilang mencari perempuan untuk dinikahi, aku yakin kau sangat kelaparan. Tapi tenang saja, menurutku tidak hanya kau yang sedang kelaparan di sini."
"Hn, mungkin kau benar." Dia benar-benar menanggapiku dengan santai. "Kau sendiri?"
"Aku?" Aku menyeruput minumanku sebelum menjawabnya, "Aku sudah lama tidak had sex sejak putus dengan mantan pacarku." Hey, Aku tidak akan bertemu pria ini lagi kan? Aku sudah terlanjur mengatakan hal yang lumayan memalukan.
Dan kali ini ia tertawa. Well, sepertinya aku telah mewarnai hari orang ini—dia mudah sekali dibuat tersenyum. Atau dia hanya berusaha terlihat baik dengan memberiku respon positif. "Memangnya kapan kau putus dengannya?"
"Setahun lalu?" Aku menjawabnya dengan tidak yakin. "Entahlah, aku malas mengingat-ingat hal yang buruk."
"Sex bukan hal yang buruk, kan?"
Aku mengangguk-angguk. Memang seharusnya sex adalah hal terbaik kedua setelah pekerjaan (buatku secara pribadi dan musiman).
"Mau kuingatkan rasanya?"
***
Kalau beberapa menit lalu aku menolak untuk melakukan hal sejauh sex dengan pria asing ini, maka sekarang aku membiarkannya menjajahi tubuhku di mobil hitam mahalnya. Tapi hey, one night stand bukan hal yang baru lagi di sini, walaupun ini ONS perdanaku, tapi bisa kujamin kalau ini adalah yang terakhir. Aku hanya terpancing sesaat.
Kami berada di jok belakang, denganku yang berada di pangkuannya. Tangan kanannya berada di rahangku, mengusap-usap rambutku dan menarik kepalaku demi memperdalam cumbuan kami. Sedangkan tangan kirinya dengan perlahan bergerak-gerak mengelus pahaku, sebelum menyikap dress pendekku dan menyelinap di bawah celana dalam yang kukenakan. Aku nyaris lupa kalau rasanya bisa senikmat ini, meski kami belum melakukan hal sejauh itu. Tapi sungguh, orang ini sepertinya memang mahir dalam bidang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delicate ✓
FanfictionAku bersumpah mendengar jelas nada super bahagia dari ibuku yang meneleponku dengan kabar kalau pacarku melamarku. Hey, aku bahkan tidak punya pacar!