xxv

2.7K 431 33
                                    

"Terima kasih, ya," ucapku saat mobil Sasuke berhenti di parkiran gedung apartemenku.

"Hey,"

Gerakanku untuk membuka pintu terhenti saat mendengar interupsi Sasuke. Kuurungkan niatku untuk keluar dari mobilnya dan berbalik untuk kembali menatap laki-laki itu. "Ada apa?"

Sasuke menatapku, beberapa saat sampai ia kembali membuka mulutnya. "Kau percaya kalau mereka benar-benar menolakku?"

Aku mengernyit pada kata rujuk yang digunakannya. Aku tidak terlalu yakin, tapi instingku mengatakan kalau orang yang Sasuke maksud adalah pacar yang 'menolak' untuk dinikahinya. Apa yang Karin pernah katakan padaku dengan apa yang Sasuke katakan tadi, rasanya terdengar aneh.

Aku hanya berusaha realistis, kalau Sasuke memang ditolak karena melayangkan lamaran seperti yang dilakukannya padaku—hal ini bisa saja terjadi. Tapi kalau seandainya yang dilamarnya adalah pacarnya sendiri dan kemudian ia ditolak hanya karena mereka tidak bisa menerima diri Sasuke sendiri, rasanya memang terdengar seaneh itu. Memangnya hal apa yang ada dalam diri Sasuke yang tidak bisa diterima oleh mereka?

"Kenapa menanyakan hal itu padaku?" Aku tahu, aku tidak bisa menjawabnya.

Sasuke tersenyum. "Kata orang, menikah bukan hanya tentang dua orang yang disatukan di hadapan Tuhan. Tapi juga penyatuan dua keluarga untuk menjadi sesuatu yang lebih utuh." Kurasakan tangan besarnya menggenggam tanganku, membawanya ke dalam sebuah kehangatan yang menenangkan.

"Aku tahu," ujarku pelan.

"Kau pasti sudah mendengarnya dari Izumi," ujar Sasuke tanpa melepaskan genggamannya. "Bagaimana keluargaku, bagaimana Ibuku bersikap padanya, bahkan kau sudah mengenal Ibuku."

"Ibumu menyebalkan."

Sasuke mengulum senyumnya, kemudian mengangguk. "Sangat. Aku tidak akan membiarkannya membuatku gagal menikah lagi."

"Huh?"

Sebelum aku mendapat penjelasan dengan lebih jelas, Sasuke melepaskan genggaman tangannya dan berganti mengacak rambutku. "Sana masuk."

Aku melirik jam digital yang ada di samping roda setir, tiga angka putus-putus itu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Memang sudah cukup larut, walaupun pagi ini aku tidak ada shift tapi aku tetap memilih untuk melakukan apa yang diperintahnya.

"Sampai nanti?"

Aku tidak terlalu mendengarkannya karena sekarang kepalaku terpikirkan oleh kalimatnya tadi. Sampai mobil hitamnya menghilang dari ujung mata, bahkan sampai aku berada di unitku sendiri untuk bersiap tidur. Aku masih kepikiran.

***

"Aku masak ya?"

Aku mengulum senyumku untuk menghindari retakan pada maskerku. Sasuke yang memahami responku ikut mengulum bibirnya sendiri. Kami sekarang sedang memakai masker wajah. Saat aku melakukan rutinitas pagi di hari liburku, Sasuke tiba-tiba datang. Dia tidak mengatakan alasannya datang sepagi ini, justru menanyai apa yang akan kulakukan di hari libur selain bermalas-malasan.

Percaya tidak percaya dia bilang ingin 'bermalas-malasan' denganku hari ini. Padahal ini hari Jumat, ia tidak libur. Dan berakhirlah kami berdua duduk menyandar di atas sofaku dengan wajah terlapisi masker berwarna putih. Macbookku yang di atas meja kopi masih menyala, menayangkan film random yang Sasuke putar.

"Kau mau masak apa?" tanyaku setelah menetralkan rasa geli yang sempat terlintas karena melihat bandana milik Ino yang tadi kupakaikan pada Sasuke agar rambut laki-laki itu tidak terkena masker.

Delicate ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang