xix

3.1K 440 27
                                    

Aku terbangun karena suara benda berat jatuh. Hal pertama kali yang kulakukan setelah bangkit dengan paksa adalah mengedarkan pandanganku ke segala penjuru ruang utamaku dan mendapati Ino tengah memungut botol minumannya yang tergeletak mengenaskan dengan ceceran air mineral itu di atas lantai.

Kudengar Ino menggumamkan beberapa kali kata sori dan berlari kecil untuk membereskan kekacauan kecil yang dibuatnya. Aku mendengus, menyibakkan selimutku untuk membantunya mencari kain pel dan segera mengeringkan lantaiku sebelum cairan itu meluber ke segala penjuru ruangan.

Selagi Ino membersihkan lantai, aku bergerak untuk mengambil gelas dan meminum air. Kulihat Ino telah memakai pakaian olah raga—sport bra, legging, dan sepatu. Aku mengingat-ingat kejadian semalam, mencoba mengingat apa Ino pernah mengatakan sesuatu tentang rencananya akhir pekan ini. Tapi kurasa ia tidak mengatakan apapun tentang olah raga pagi.

"Kau mau jogging?" Tanyaku setelah Ino kembali dari arah kamar mandi.

Ino tersenyum geli, kemudian ia memutar tubuhnya—yang sungguh sangat bagus itu. "Deidara mengajakku jogging hari ini. Kau mau ikut?"

Deidara—kadal bercabang itu adalah mantan rekan kerja Ino di perusahaan Sasuke. Aku tidak tahu kalau mereka berdua masih sedekat itu. Dan, yep, aku tidak menyukainya laki-laki berenergi gay sepertinya. "Tidak, terima kasih dan hati-hati."

"Kau ini, kami hanya akan jogging." Ino mendekatiku kemudian menyentil dahiku. "Kau juga sesekali harus berolah raga. Sasuke pasti sekarang sedang berolahraga. Haha."

"Please, ini tidak ada hubungannya dengan Sasuke."

Ino mengangkat bahunya sembari berjalan menuju pintu. "Memang tidak ada. Tapi jangan minder kalau saat berjalan dengannya kau tampak seperti gumpalan lemak berkaki dua. Bye, Jidat!"

Aku melotot saat Ino pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan sebuah pikiran tentang lemak. Hey, aku tidak segemuk itu hingga dapat membuat orang-orang salah fokus karena lemak tubuhku. Sebenarnya berat badanku terbilang ideal, tapi kuakui aku memang perlu olahraga untuk membuatnya lebih kencang. Tapi, hell, aku bukan seorang model runaway yang mana orang-orang akan menilik sekujur tubuhku. Aku hanya kan berurusan dengan orang sakit.

Aku berjalan menuju kamar dan berdiri di depan cermin besar di sana. Mataku menatap setiap inchi tubuhku dari pantulannya. Kedua tanganku kuarahkan untuk menangkup dadaku sendiri dan menyadari kalau dadaku tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan seperti Ino. Tapi bukan berarti tidak ada yang bagus dari tubuhku karena aku masih punya bokong yang lumayan. Aku tidak bisa berhenti tersenyum geli saat melihat pantulan tubuhku dari arah samping, lebih tepatnya bokong berisiku.

"Bahkan bokong Patrick tidak ada apa-apanya dibandingkan milikmu." Yea, aku membicarakan Patrick Star.

Aku menyentuh bokongku dan kembali tersenyum senang untuk yang kesekian kalinya. Baiklah, tidak akan ada habisnya bagiku untuk terus-terusan membanggakan bagian tubuh ini, maka aku segera menyingkir dari depan cermin untuk kembali ke ruang utama dan beres-beres.

Aku melipat dengan rapi gumpalan selimut yang masih tergeletak di atas alas untukku dan Ino tidur semalam. Setelah kutumpuk menjadi satu dengan bantal, aku segera membawanya ke kamar dan meletakkannya di atas ranjang. Setelahnya aku beralih pada bungkus makanan yang kami habiskan semalam, juga beberapa keleng cola. Dan yang terakhir adalah cuci piring. Saat menyalakan air, aku mendengar ponselku berdering di atas meja kopi. Tanpa mematikan airnya, aku segera mengambil benda itu dan kembali ke dapur. Kulihat nama Utakata tertera di sana, membuatku menerbitkan senyum kecilku seketika.

"Hey, tidak kusangka kau masih hidup."

Kudengar Utakata berdecak. Aku bisa membayangkan ia merotasikan bola matanya. "Kau terdengar seperti mengharapkanku mati cepat."

Delicate ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang