xvi

3K 425 10
                                    

"Moegi akhirnya tinggal di rumah kita. Ibu sangat bersyukur karena dia tidak jadi putus kuliah."

Aku menggaruk lenganku sembari mendengarkan curhatan Ibuku di seberang sambungan ini usai. "Jadi Ibu yang akan membiayai kebutuhan Moegi mulai sekarang?" tanyaku sedikit ragu.

Oke, aku tahu aku terdengar sangat buruk saat menanyakan hal ini. Hanya sekadar informasi, Moegi adalah sepupuku, dia anaknya Pamanku dari pihak Ibuku. Keluarganya agak kacau, apalagi ibunya yang kini telah menggugat cerai karena memilih untuk tinggal bersama pacar barunya. Aku tidak tahu kenapa bisa jadi begitu, padahal Pamanku bukanlah orang yang kasar—tapi ia pengangguran yang beru beberapa minggu lalu pergi untuk mencari pekerjaan di negeri orang.

Moegi dulunya tinggal di rumah bersama Pamanku yang pengangguran itu, tapi karena musibah ini, ibunya—yang merupakan pemilik rumah itu mengusir pamanku dan Moegi diberi pilihan untuk tinggal dengannya atau ikut ke tempat ayahnya yang jobless itu. Tapi tentu saja Moegi memilih untuk pergi. Aku yakin ia telah menanamkan kebencian pada ibunya.

Aku bisa mendengar napas Ibuku saat tersenyum. "Untuk sementara, sampai Pamanmu menemukan pekerjaan."

Sebenarnya aku ingin melarang Ibuku untuk melakukan hal seperti itu, tapi masa iya aku bisa setega itu dan membiarkan Moegi putus kuliah? Ayahku telah menjual tanahnya untuk melunasi hutangnya saat aku kuliah dulu dan sekarang kedua orang tuaku ini hanya bisa bergantung pada hasil peternakan kami untuk kebutuhan sehari-hari. Bukan hanya untuk makan, tetapi juga untuk biaya lainnya seperti asuransi, perbaikan perabot, renovasi, dan tentu saja perawatan hewan ternak ayahku. Itu adalah kebutuhan yang begitu besar untuk mereka tanggung sendirian.

"Aku akan kirimkan uang setiap bulan untuk tam—"

"—Kau tidak sedang meragukan Ayah dan Ibu, kan?"

Aku mengernyit mendengar respon Ibuku itu. "Tentu saja tidak. Aku hanya ingin membantu."

Terdengar suara decakan dari sana dan seketika aku bisa melihat Ibuku yang seolah-olah tengah menatapku tajam. "Kalau begitu jangan lakukan itu. Kau tidak perlu mengirim apapun untuk biaya kuliah sepupumu itu. Simpan saja uangmu atau gunakan untuk keperluanmu sendiri."

"Aku baik-baik saja!" Aku sedikit meninggikan suaraku, kemudian sekilas aku melirik sekitarku—samping ruang UGD yang sepi. "Bahkan jika aku mengirim sebagian uangku padamu, aku akan tetap baik-baik saja. Kalau kau lupa, aku bukan pemboros."

"Sudahlah, Saku, kami juga baik-baik saja. Uang hasil penjualan ladang juga masih ada untuk keperluan mendatang." Ibuku memberi jeda beberapa detik sebelum melanjutkannya. "Tapi terima kasih sudah mau peduli, Sayang."

Aku tahu ia berbohong. Tapi mendengarnya berkata demikian membuat hatiku menghangat. Sudut bibirku secara refleks terangkat mendengar ucapan Ibuku itu. Walaupun aku tidak bisa menaklukkan sifat keras kepalanya itu. "Aku kan anakmu. Tapi sungguh katakan padaku kalau Ibu butuh apa-apa."

"Tentu saja, Ibu kan tidak punya tempat curhat lain selain padamu—Ayahmu suka kesal kalau diajak curhat." Aku terkekeh mendengar jawaban Ibuku, senang bisa dianggap sebagai anak dan sahabat oleh ibu sendiri. Aku jadi rindu kampung halaman.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kau dengan nak Sasuke?"

Ah sial, nama keramat itu akhirnya disebut juga. "Baik," jawabku seadanya—setidaknya untuk menghindari konversasi menjurus yang justru akan membuatku merasa terpojok.

"Begitu, ya?" Aku bergumam untuk memberinya respons. "Tapi katanya ia akan ke Oto lagi untuk masalah proyeknya—Ibu tidak terlalu paham saat dijelaskan. Hoho."

Delicate ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang