xxix

6K 418 69
                                    

S U M M E R

***

3 years later

Hari yang tak pernah kubayangkan selama ini akhirnya tiba. Entah pikiran dari mana, tapi rasanya kali ini aku ingin menjinjing gaunku tinggi-tinggi dan lari sejauh-jauhnya untuk menghindari hari ini. Namun sebelum aku benar-benar mengambil ancang-ancang untuk lari, kata-kata keramat yang pernah dikatakannya padaku kembali terngiang-ngiang, "Kalau bukan sekarang maka besok. Kalau bukan besok, maka aku akan terus menunggu sampai waktunya tiba."

Ugh .. sekarang 'dia' adalah kelemahan terbesarku.

Aku meremas lengan atas Ayah pada rangkulanku kala kami berdiri di beranda rumahku, karena dari tempat kami berdiri, aku bisa melihat jajaran kursi kayu berwarna putih yang telah disinggahi para tamu undangan. Bukan hanya itu, aku bisa melihat Ino dan Sai berdiri sejajar di depan sana sebagai pendamping mempelai, dan tentu saja aku tidak melewatkan sosok tegap yang kini berdiri di altar sembari melihat ke arahku.

Aku menahan cengiranku. Aku tahu ini bukan saatnya merasa konyol karena melihat Sasuke, tapi rasanya semua perasaan itu tercampur aduk dan menggelitik perutku. Niatan kabur seketika kuurungkan, tentu saja, aku tidak bisa membatalkan pesta yang telah dipersiapkan sedemikian rupa di halaman rumah orang tuaku dan mengecewakan para tamu undangan. Seseorang bisa saja rugi besar.

Bercanda. Aku tidak mungkin pergi dari sini dan kabur dari pria manis di atas altar itu—bukan pendetanya, tapi yang berdiri di depan pendeta dengan tuxedo. Hehe.

"Siap?" Ayahku berbisik kecil, menoleh ke arahku.

Aku menarik napas panjang, menggenggam erat rangkaian bunga di tanganku yang lain dan mengangguk pelan. Kemudian dengan hati-hati, Ayah menuntunku untuk berjalan menuju altar diiringi dengan alunan lembut dari pianis dan pemain biola di sisi lain. Aku menghembuskan napasku pelan, sebelum kembali menatap ke depan pada Sasuke. Dan dari jarak kami, aku bisa melihatnya dengan jelas tengah mengusap wajahnya.

Aku menaikkan kedua alisku. Dia .. menangis?

Itu hanya asumsi sesaat sampai aku berada di atas altar bersamanya, berhadapan dengannya dan menatap matanya yang memerah. Ia menatapku dengan sebuah senyum, tapi ekspresinya itu tak pernah bisa menipu kalau sebulir air mata sempat bertengger di sana. Aku balas tersenyum padanya dan menggenggam kedua tangannya dengan saling berhadapan, setelah menyerahkan buketku pada Ino.

Pendeta gempal yang berdiri di samping kami berdeham, menatap kami berdua dengan wajah ramahnya. Kemudian ia mulai membacakan sesuatu dari bukunya tentang pernikahan ini. Dan sepanjang kalimat itu diucapkannya aku tidak bisa mengalihkan tatapanku dari Sasuke. Kulihat ia beberapa kali berkedip dan melirik ke arah lain, seolah-olah ia berusaha untuk menahan air matanya untuk kembali membanjiri pipinya. Saat ia membersit hidungnya dengan perlahan, aku nyengir. Aku melepaskan salah satu genggamannya untuk mengusap pipinya, membuatnya terkekeh malu.

Aku tidak tahu kalau ia akan menangis. Dia benar-benar manis.

"Aku tidak seharusnya menangis," bisik Sasuke. Ia meremas pelan genggamannya pada tanganku. "Tapi kau cantik sekali."

Aku menahan tawa geliku. "Kenapa itu membuatmu menangis?" tanyaku dengan berbisik.

Sebelum Sasuke bisa menjawab bisik-bisik itu, pendeta yang memimpin upacara suci ini menunjuk kami untuk mengucapkan janji suci yang telah kami persiapkan. Ia menatapku dengan senyum mempersilakan. "Kau bisa memulainya, Nona Haruno," Ucapnya sembari mendekat dengan membawa velvet box berisi dua cincin di dalamnya.

Delicate ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang