"Jadi dia benar-benar nekat ke rumah ibumu?" Ino menatapku dengan kedua alisnya yang terangkat tinggi-tinggi. "Wow, dia sangat serius."
Aku mendengus mendengarnya. "Aku tetap tidak mau."
Ino beranjak dari sofa yang ditempatinya, beralih berdiri di sampingku yang bersandar pada bar. Perempuan modis yang kuanggap sebagai sahabatku selama beberapa tahun ini memegang pundakku. "Hey, tidak baik memutuskan segala sesuatu seperti itu. Setidaknya coba cari tahu seberapa besar keseriusan pak Sasuke padamu."
"Pernikahan bukan masalah sesepele itu. Seharusnya dia mendatangiku dulu sebagai orang yang katanya mau dinikahinya." Euh, lidahku sedikit geli mengucapkan kalimat itu. Tapi aku serius.
Ino mengambil gelas minumanku, kemudian meletakkannya di bar belakangku punggungku sehingga aku bisa fokus padanya sepenuhnya. "Tiap-tiap orang punya jalan pikiran yang berbeda-beda dan sejauh aku mengenal calon mantan bosku itu, dia memang punya pikiran yang sangat sulit ditebak—nyaris aneh."
"Aku tidak mau menikahi pria dengan pikiran aneh."
"Oh, ayolah, Jidat. Dia pria yang baik walaupun sedikit kaku. Aku bisa menjamin kehidupan terbaik akan kau gapai setelah bersamanya."
Aku mengernyit mendengar Ino kemudian menuding hidungnya. "Hey, pasti kau disuruh bilang begitu, kan?"
"Siapa yang menyuruhku? Hati nuraniku? Tentu saja!" Ino meraih kedua sisi wajahku kemudian menghadapkan wajahku padanya. "Hati nuraniku menyuruhku untuk menyadarkan sahabat bodohku ini untuk tidak melakukan hal yang sangat egois."
Hal egois? "Kukira wajar kalau aku sedikit egois sekarang, karena apa yang dilakukan oleh calon mantan bosmu itu berkaitan dengan kehidupanku di masa depan. Menerimanya sama sekali tidak menjamin kebahagiaan apapun." Setelah mengatakan itu aku menggeser tubuhku dan beralih untuk menempati sofa untuk membaca majalah fashion mingguan yang Ino bawa—setidaknya untuk tampak sibuk.
"Setidaknya kebahagiaan Bibi Mebuki terjamin. Kau pasti sudah memikirkannya juga, kan? Bibi Mebuki sangat senang begitu tahu ada pria mapan hendak menikahi putri bodohnya ini."
Aku masih sibuk membolak-balikkan majalah, tapi pikiranku berlayar ke suatu tempat lain. Hal sulit dari masalah ini adalah karena berhubungan dengan wanita setengah baya kolot sekelas ibuku di kampung sana. Sialan, Sasuke.
"Jika kau menolak pak Sasuke, alasan macam apa yang bisa kaugunakan untuk membuat bibi Mebuki menerima pembatalan pernikahan itu?" Ino menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menatapku sanksi.
"Aku tinggal bilang kalau pria itu mati tertabrak bus sekolah atau terpeleset dari balkon."
"Sakura Haruno, serius. Kau terdengar sedang mendoakan calon mantan bosku itu mati dengan cara yang kurang elit. Tapi lebih dari itu, kenapa kau tidak bilang kalau dia mati karena kau pukuli? Aku yakin kau lah yang bertanggungjawab atas memar di wajah pak Sasuke."
Aku menoleh pada Ino cepat, sungguh tak mampu mengontrol ekspresi geliku. "Serius? Masih terlihat jelas?"
"Keunguan. Orang-orang di lantaiku menjadikan kasus ini sebagai topik wajib selama dua hari ini." Ino menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mereka bilang ada perempuan asing berambut nyentrik datang ke kantor dan dikejar-kejar oleh pak Sasuke."
"Orang-orang memang sama saja."
"Yep, cuma kau orang yang berbeda—menolak mentah-mentah saat dilamar oleh pria tampan nan mapan. Alasanmu yang ingin sukses sangat tidak masuk akal, toh yang akan kau nikahi adalah orang berpendidikan dengan cara pandang yang luar biasa modern dari pada kolot." Aku diam saat Ino memulai kalimat super panjangnya itu (lagi). "Dan alasan keduamu yang tidak mengenalnya. Sumpah, Jidat, semua manusia tidak saling mengenal tanpa berkenalan. Seperti aku dan kau, kalau kita tidak berkenalan dengan benar dulu—aku bersumpah tidak akan sudi menjadi temanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Delicate ✓
FanfictionAku bersumpah mendengar jelas nada super bahagia dari ibuku yang meneleponku dengan kabar kalau pacarku melamarku. Hey, aku bahkan tidak punya pacar!