xvii

3K 442 14
                                    

"Kakakku akan meresmikan cabang cafenya di distrik dua."

Aku tersenyum turut senang mendengar apa yang Karin ucapkan. Sembari memilih-milih dress, ia menceritakan tentang kakaknya yang waktu itu tengah berusaha untuk mendapatkan tempat di distrik dua.

Aku tidak heran kenapa ia bisa sesenang ini, karena di Konoha tiap-tiap distrik memiliki semacam tingkat keelitannya sendiri. Dari keduabelas distrik yang ada, distrik satu adalah tempatnya para elit, yang mana segala bangunan hingga harga barang-barang yang ada di sana bisa jauh lebih tinggi ketimbang distrik lain. Hingga distrik duabelas yang mana menjadi tempat berkumpulnya para mahasiswa dan pekerja rantauan, kata Ino karena segala halnya sangat terjangkau dan tetap senyaman kampung halaman. Apartemenku sendiri ada di distrik enam, Ino memilihkan tempat ini karena rumah sakitku ada di distrik itu juga. Setidaknya untuk mempermudahku sendiri dan aku yakin memang begitu. Dan tentu saja akan ada masa depan yang cerah akan kemajuan bisnis kakaknya Karin itu.

Kami menghabiskan cukup banyak waktu di hanya satu butik. Karin punya selera yang sangat berani dan berkelas. Dia bahkan tidak segan memilih beberapa dress kekurangan bahan yang harganya selangit. Katanya, harga bukanlah masalah tapi kenyamanan kita sendiri yang perlu diperhatikan. Setelah mendengarnya aku tidak bisa merespons hal lain selain nyengir, maksudku tentu saja hal itu mudah dikatakan oleh orang-orang berkantong setebal ensiklopedia. Kalau orang sepertiku tentu berprinsip asal ada diskon.

Oh, yeah.

Dan ya, mungkin kami akan larut dalam acara yang sangat perempuan ini hingga aku menyadari langit Konoha telah menggelap dan Karin mengajakku untuk makan malam bersama di cafe terdekat. Sebenarnya aku mau saja melupakan Sasuke yang mungkin tengah dalam perjalanan menuju tempatku, tapi sesebal apapun aku padanya aku tetaplah orang yang tidak bisa mengingkari janji begitu saja. Walaupun kami tidak buat janji sebelumnya—tapi aku tidak melarangnya.

"Hey, sepertinya aku harus pulang sekarang," ucapku pada Karin yang kini tengah berjalan dengan empat paperbag di tangannya.

Ia menatapku dengan kedua alis mengernyit seolah tidak terima. "Makan dulu denganku, baru setelahnya kita pulang."

Aku menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga dan berucap, "Sungguh, aku harus pergi sekarang."

"Kenapa?" Karin menyondongkan tubuhnya padaku. Satu alisnya terangkat tinggi-tinggi dan kaca matanya berkilat karena cahaya lampu jalanan. "Kau ada janji lain?"

Tepat setelah mendengar pertanyaan yang Karin lontarkan itu, aku merasakan ponselku bergetar di dalam tote bag yang kubawa di bahu kiri. Sembari merogoh ponselku, aku menjawab pertanyaannya, "Begitulah. Temanku akan datang ke tempatku."

Karin berdecak, kurasa sedikit kecewa. Aku menatap ponselku dan bisa kulihat nama Sasuke tertera di sana, ia mengirimiku beberapa pesan singkat. Aku dengan pelan melirik Karin, takut-takut kalau ia bisa melihat isi ponselku. Dan baiknya, Karin tidak sedang mencoba mengintip ponselku, maka aku kembali pada ponselku untuk melihat isi pesan yang orang itu kirimkan. Tapi saat aku menatap benda dengan pantulan cahaya yang lumayan menyilaukan itu, pandanganku terasa sedikit kabur dan sulit untuk difokuskan pada jajaran kata yang tertera.

"Kau mau kuantar sampai tempatmu?"

Pertanyaan yang Karin lontarkan sedikit membantu, karena setelah beberapa kali mengedipkan mata, aku bisa menatap wajah Karin dengan jelas. "Tidak perlu, aku akan naik taksi."

"Sungguh?" Aku memberikan respons semeyakinkan sebuah anggukan tegas. "Oke, tapi lain kali kita harus hangout lagi."

Aku mengacungkan jempol di depan mukaku sendiri untuknya. Kemudian ia pamit pergi dengan mobil berwarna merahnya yang terparkir di pinggir trotoar. Begitu benda beroda empat itu melaju menyelusuri jalanan kota yang senyap, aku mencari sebuah tempat untuk menghampaskan bokongku. Setelah memutari butik dan hanya menghabiskan lima buah bitterballen buatan Shizune untuk makan siang tadi, aku yakin kalau tubuhku kini tengah menunjukkan dampaknya.

Delicate ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang