Aku mengeluarkan pakaian-pakaianku dari mesin pengering dan meletakkannya ke dalam keranjang pakaian. Kemudian dengan gontai aku membawanya ke meja yang disediakan di samping jajaran mesin untuk segera kulipat. Aku sedikit bersyukur karena laundry koin berada tidak terlalu jauh dari gedung apartemenku, karena setidaknya aku tidak perlu pergi terlalu jauh hanya untuk mencuci pakaian-pakaianku.
Saat memasukkan sebagian baju yang telah kulipat ke tas, aku merasakan ponselku dalam saku bergetar. Kulihat nama Ino terpampang pada layarku sebagai penelepon. Aku berdeham beberapa kali sebelum akhirnya mengangkat sambungan itu dan menyapanya dengan sapaan 'terbaik' yang bisa kulontarkan.
"Astaga, suaramu seperti zombie," ledeknya.
Aku mendengus. "Aku sedang tidak mood untuk bergembira sekarang," jawabku jujur. Tentu saja, setelah apa yang terjadi kemarin. Huh.
"Hei, ada apa?" kudengar suara Ino melunak, kukira ia akan berteriak karena aku tidak meneleponnya, tapi justru ia terdengar khawatir. Dan senyum pertamaku hari ini tercipta karenanya.
"Aku hanya baru menyadari kalau cucian kotorku sangat banyak. Aku lelah melipatnya." Aku tahu, berbohong bukanlah hal yang baik, tapi kurasa masalah ini bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan olehnya.
Tadinya, aku mengira kalau aku telah beraksi berlebihan karena tahu Sasuke mengirim seseorang untuk mencari informasi tentangku. Maksudku seharusnya aku sudah menduga hal ini, karena Sasuke tidak mungkin melamarku begitu saja tanpa mencari tahu tentangku terlebih dulu.
Sulit bagiku untuk mengakuinya, tapi aku telah membukakan pintu hatiku. Walaupun tidak pernah terpikirkan olehku untuk menerima Sasuke karena aku sendiri belum berminat untuk menjalin hubungan seperti ini pun perbedaan status sosial keluarga kami. Tapi nyatanya aku merasa baik-baik saja menjalin hubungan dengan Sasuke. Keluargaku tampak menerimanya dengan baik, bahkan aku sendiri merasa diterima di keluarganya, dan jujur saja untuk menyukai seseorang seperti Sasuke bukanlah hal yang sulit.
Aku baru menyadari kalau aku memang telah jatuh hati padanya sejak lama. Hanya saja rasa itu tertutupi oleh rasa sebalku padanya yang selalu semena-mena pun egoku terlalu tinggi untuk bahkan mengakuinya sendiri. Yeah, manusia memanglah makhluk yang rumit..
"Sialan, Jidat, kau mendengarkanku tidak sih?!"
Aku tersentak kala mendengar teriakan Ino dari seberang sambungan. Aku memang terlalu banyak kepikiran tentang itu, bahkan tadi aku nyaris memasukkan pakaian kotorku ke mesin pengering sebelum mencucinya, untungnya ada seseorang menyadarkanku.
"Sori, aku sedang melipat pakaian."
Kudengar Ino berdecak di seberang sana. "Ya sudah, nanti kujelaskan lebih rinci. Yang pasti jangan lupa datang di peresmian butik, oke?"
Aku mengernyit mendengar kata 'peresmian', sontaks aku mencari-cari kalender yang mungkin saja ada di sekitar sini, tapi nihil tempat ini hanya dipenuhi oleh mesin dan poster deterjen. Maka dengan kilat aku menjauhkan ponsel dari telingaku untuk melihat tanggal yang tertera di sana, dan oh Lord, besok adalah peresmian butik Ino. "Hey, t-tentu saja aku akan datang! Itu hari yang kutunggu-tunggu."
Saat Ino tertawa, ponselku tiba-tiba bergetar, pertanda ada panggilan suara lain yang masuk. Aku menjauhkan ponselku lagi dan mendapati nama Ibu tertera sebagai pemanggil itu. Aku kemudian kembali pada Ino. "Ibuku menelepon, sudah dulu, ya? Nanti kutelepon lagi."
"Oke, Forehead. Sampai nanti."
Setelah sambungan Ino kumatikan, aku beralih pada panggilan Ibu yang masih dalam mode menunggu, segera saja aku menerima panggilan itu dan menyapa Ibu dengan semangat seperti biasanya. Namun perasaan yang telah kutata sedemikian rupa untuk terdengar lebih baik saat berhadapan dengan Ibu luntur begitu terdengar suara tangis dari seberang sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delicate ✓
أدب الهواةAku bersumpah mendengar jelas nada super bahagia dari ibuku yang meneleponku dengan kabar kalau pacarku melamarku. Hey, aku bahkan tidak punya pacar!