Uno

200 13 8
                                    

Mereka kini tengah berada di ruang keluarga rumah Nara. Setelah tadi mereka menghabiskan waktu di supermarket sekitar duapuluh menit. Mereka membeli camilan yang akan mereka makan sambil menonton drakor nanti malam. Ada juga bahan mentahan untuk makan malam mereka nanti.

Keempatnya sedang asik bermain uno. Sejauh ini Agatha yang selalu kalah. Karena ia tidak begitu mengerti dengan permainan uno ini. Tiba tiba saja Jonathan bergabung dengan mereka. Dan langsung duduk disebelah kiri Agatha.

"Mau abang bantu gak Tha?" tanya Jonathan yang langsung dibalas dengan anggukan oleh Agatha. Mata Agatha terlihat berbinar. Persis seperti anak kecil yang ditawari ice cream oleh orang tuanya. Lucu sekali kamu, Tha. Agatha langsung memberikan setengah kartunya pada Jonathan.

"Kok malah dibantuin sama bang Jo sih. Ih gak adil dooong. Gak boleh pokoknya" Cia tidak terima. Ia takut jika Agatha dibantu oleh Jonathan. Bisa bisa yang kalah nanti Cia. Karena selisih kekalahan Cia dengan Agatha berbeda tipis sekali.

"Yeuu terserah bang Jo dong mau bantuin siapa. Yaudah sono minta bantuan si Uvo aja tuh" ujar Vivi dengan sedikit sewot.

"Devo bukan Uvo" Cia tidak suka jika ada yang mengganti nama Devo, seperti yang tadi Vivi lakukan.

"Udah ah lanjut aja, gak akan beres beres kalo kalian ribut terus mah" sela Nara saat Vivi ingin membalas perkataan dari Cia tadi.

Permainan dimulai kembali. Semakin sengit dan panas saja. Karena kini jumlah kekalahan Cia dan Agatha sama. Tinggal selangkah lagi untuk mengetahui siapa yang bakal kalah. Dan tentunya akan mendapatkan hukuman.

Akhirnya permainan selesai yang dimenangkan oleh Vivi. Dan yang kalah adalah Cia. Cia terus saja mencak mencak tidak jelas. Ia tidak terima jika dirinya yang kalah. Ia merasa terdzolimi sekarang. Cia terlihat semakin cemas. Ia tidak ingin menjalankan hukuman yang telah mereka sepakati sebelum memulai permainan.

Cia harus menelpon satu nomor teman kelasnya. Dan yang terpilih adalah Arga. Cia sebenarnya tidak begitu dekat dengan Arga. Ia lebih baik menelpon Reno saja karena mereka sudah sekelas sejak kelas sepuluh. Sedangkan Arga hanya dikelas duabelas saja mereka sekelas.

Dengan tiba tiba Vivi melempar ponsel Cia yang untung saja dapat ditangkap oleh Cia. Kalau tidak kepalanya bisa benjol kena lemparan ponselnya sendiri. Cia terlihat sedang menimang nimang. Jantung serasa berdebar. Baru kali ini ia akan mengatakan suka pada seseorang selain Devo. Tangannya sedari tadi meremas ponsel tanda ia sedang gugup.

"Udah ah ayo, kelamaan mikir lo" ucap Vivi tidak sabaran.

"Iya bentar. Sabar dong, tunggu gue rileks dulu" ucap Cia mencoba bernegosiasi. Vivi tidak terima dengan yang Cia ucapkan. Ia langsung saja merebut ponsel yang ada digenggaman Cia. Ia langsung mencari kontak bernama Arga, dan ketemu.

Vivi langsung mengklik tombol panggil, ternyata berdering. Tidak diangkat angkat juga. Ini sudah yang ketiga kalinya menelpon tapi hanya berdering saja.

"Lo udah sekontak belum sama si Arga?" tanya Nara.

"Udah Ra" jawab Cia dengan lesu. Vivi mencoba memanggil sekali lagi. Jika masih tidak diangkat juga, terpaksa harus ditunda nanti malam. Tak disangka, panggilannya diangkat. Tetapi tidak ada sahutan dari sana. Vivi langsung saja memberikan ponsel itu kepada Cia. Tak lupa juga ia menloadspeaker panggilannya agar dapat mendengar apa respon dari Arga nanti.

"Ha-halo Ga" Cia mulai berani bersuara. Tetapi tetap tidak ada sahutan sama sekali. Malah terdengar umpatan dari Reno yang terdengar. Sepertinya ia sedang bermain ps dengan teman temannya. Sepertinya Arga menunggu apa yang akan Cia katakan.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo..." jeda sejenak, Cia mencoba menarik nafas dalam dalam agar lebih tenang lagi. "Sebenarnya gue emm...suka sama lo, Ga" tetap tidak ada sahutan sama sekali. Cia saat ini sedang ketakutan. Ia takut jika Devo mengetahui hal ini. Bisa salah paham nanti dia.

NAREGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang