Sai bertanya sembari menyeruput kopi miliknya. Sesekali menatap sang istri, Shimura Ino yang sedang membersihkan rumah sedari tadi. Padahal Ino sudah hamil tua dan butuh banyak istirahat dan tidak boleh kelelahan. Tapi calon ibu itu malah terus bolak-balik.
Ino tersenyum sembari duduk disofa, "Katanya kalau hamil tua, harus melakukan banyak aktivitas agar saat proses pelahirannya nanti tidak begitu sulit," Jawab Ino kemudian menyandarkan tubuhnya ke bahu Sai. "Lelahnya..." Keluhnya.
Sai menoleh, "Makanya jangan melakukan hal berat, boleh saja asalkan pedulikan tubuhmu. Aku khawatir padamu." Sai mengecup singkat kening istrinya.
Ino tersenyum tipis. "Baiklah, aku akan mengurangi aktivitasku, tapi kau juga harus mengurangi aktivitasmu juga. Akhir-akhir ini, kau banyak sekali misi." Bibir peach itu mengerucut sebal. Memang, suaminya ini mulai pulang agak malam, bahkan pernah pulang jam tiga pagi. Setiap kali Ino menyuruhnya untuk menginap di asrama kepolisian ketika tidak sempat pulang, Sai selalu menjawab..
"Tidak apa, aku tidak berani menginap disana dengan kondisimu seperti ini, aku akan meminta jendral dan kapten untuk meliburkanku dari misi dan menjagamu dirumah. Meskipun hanya perlu mencatat data para narapidana saja."
Ino terharu saat Sai berucap seperti itu tapi tak lama kemudian, Sai demam tinggi membuat Ino khawatir. Bahkan wanita pirang itu sampai menangis. Biasalah, hormon ibu hamil sering berubah-ubah dan sedikit sensitif.
"Sai-kun..." Panggil Ino pelan. Sai berdeham sebagai balasannya. "Kau ingin anaknya berjenis kelamin apa? Perempuan atau laki-laki?" Tanya Ino sembari mengelus perutnya sayang.
Sai menoleh, "Perempuan dan laki-laki tak masalah, aku hanya ingin anaknya terlahir dengan sehat dan kau juga sehat." Bibir Sai membuat lengkungan tipis.
"Sai, ingin anaknya seperti apa?"
"Seperti bayi,"
"Ya aku juga tahu soal itu," Ino mengerucutkan bibirnya sebal membuat Sai terkekeh. "Maksudku, berambut pirang sama sepertiku, mata aqua atau rambut klimis dan kulit pucat. Begitu!"
Sai memasang pose berpikir, "Tergantung dari kelaminnya."
"Hah? Maksudmu?"
"Lupakan saja."
"Lalu bagaimana dengan nama anaknya? Apa perlu aku tambahkan nama kakakmu?"
Memang, Sai pernah bercerita kalau dia mempunyai teman yang sudah sangat dia anggap sebagai kakak waktu masih di panti. Namanya Shin, dia berperawakan berbeda dengan Sai. Lelaki itu bersurai abu dengan kulit kuning langsat. Hingga akhirnya mereka berdua terpisah saat Shin memutuskan untuk pergi dari panti asuhan dan memulai kehidupan baru. Dengar-dengar dari ibu panti, Ren Akane, katanya Shin menjadi psikolog.
Sai menoleh, "Terserah kau ingin memberi namanya apa, yang jelas aku senang kau telah menikahiku."
"Aku juga senang Sai ingin menikah denganku,"
Sai dan Ino saling bertatap muka tak lama mendekatkan wajah mereka satu sama lain hingga kedua belah bibir itu menyatu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.