•
"Kesalahan terbesar adalah ketika kita menyalahkan orang yang tidak bersalah. Dan kebodohan terbesar adalah ketika kita membenci seseorang yang justru menyayangi kita." ~Alnaya Martasya Effycho.
•Kenapa kenyataan harus sepahit ini? Kenapa kenyataan kadang membuat seseorang terjebak kedalamnya? Kenapa penyesalan selalu hadir diakhir?
Pantas saja. Saat itu, di cafe. Alna melihat seseorang yang mirip dengan Devan bersama dengan seorang gadis di sana. Keesokan harinya, Alna memarahi Devan, dan Devan tidak mengakui keberadaannya di sana.Terus saja kejadian semacam itu terulang, dan Devan lagi lagi tak mengakui kejadian itu. Hingga Alna muak, dan mulai membenci Devan.
Alna diselimuti kebencian kepada Devan, hingga kejadian kecelakaan waktu itu. Ya, bisa disebut janji diujung hidup. Walaupun yang disana saat itu bukan Devan, melainkan Gevan. Sejak saat itu, Alna tak sepenuhnya membenci Devan. Mungkin hanya sepuluh persen dari seratus persen kebenciannya.
Bertahun-tahun Alna menjalani hari-hari dengan kebencian itu. Dan sekarang, semuanya terbongkar. Satu kebodohan Alna yang mungkin tak dapat dimaafkan oleh dirinya sendiri yaitu, membenci salah satu orang yang menyayanginya.
Benar, tak ada untungnya menyesali hal ini sekarang. Tetapi bagaimanapun juga, rasa bersalah itu tetap ada. Menyalahkan seseorang yang tidak bersalah adalah sebuah kesalahan yang besar.
Alna, Dellyna, Evlan, dan Revan sudah berdiri menghadap makam Revan dengan tatapan sendu. Alna berjongkok, dan mengelus nisan marmer yang terdapat nama Devan. Air mata Alna berjatuhan lagi dari mata sembabnya.
"De.. Devan." Alna menangis sesenggukan. Tak peduli dengan rasa malu, yang jelas air matanya sudah tak muat untuk dibendung lebih banyak.
Alna mengulurkan tangannya, menempelkan wajahnya di atas nisan. Hingga ia benar benar memeluk nisan itu dengan terisak berat.
"Devaannn!"
"Al, bangun ih. Ga enak diliatin orang orang." Dellyna menarik lengan Alna agar bangkit dan berjongkok saja.
"Lepas, Del! Lepasin gue! Kasih gue waktu sama Devan."
Dellyna menatap Alna iba. Sedikit rasa bersalah di benaknya. Jujur saja, dari awal Dellyna ragu untuk menyerahkan surat itu kepada Alna. Tapi bagaimanapun, Alna harus mengetahuinya.
"Devan, maafin guee. Gue salah selama ini. Gue minta maaf, Van. Kutuk gue dari atas sana. Kutuk aja gue yang gak punya otak ini, Van!" Alna membentur benturkan keningnya ke permukaan nisan. Keningnya tergores, dan sedikit darah mengalir dari sana.
Dellyna melihat kelakuan Alna yang mulai menggila, segera menariknya untuk bangkit. Namun gadis keras kepala itu bersikukuh. "Al. Udah, Al. Lo gak salah. Jangan bilang gitu ah. Ga baik."
"Apa? Apa, Del? Gue udah gak guna minta maaf lagi sama Devan. Gue emang pantas dikutuk."
"Noh itu tau." Ditariknya lengan Alna. Kali ini gadis itu menurut. "Ga ada gunanya lo merutuki kebodohan lo. Gak ada gunanya lo benturin kepala lo di sana. Ga ada gunanya lo nyuruh Devan ngutuk lo. Al, gue yakin Devan udah ngertiin lo. Dia pasti sama sekali gak nyalahin lo di sini," tegur Dellyna.
Kini giliran Evlan yang berjongkok menghadap makam Devan. Menepuk nepuk gundukan berwarna hijau itu. Seakan dirinya sedang menepuk nepuk pundak sahabatnya.
"Sob. Maafin gue. Lo pasti ngutuk gue dari atas sana. Maafin gue. Lo pasti marah di sana, karena gue gak jagain titipanlo. Maafin gue. Gue minta maaf. Gue janji bakal perbaiki semuanya. Sob, gue mau pertemanan kita jangan hancur, ya. Lo tetep sahabat gue gimanapun juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
FREEZE? UNFREEZE! (REVISI)
Teen Fiction[Cerita dalam tahap revisi. Harap memaklumi typo" yang bertebaran.] Ada saatnya dimana kita harus berjuang menelan pahitnya hidup yang bertentangan dengan prinsip yang kita miliki. Semuanya berjalan begitu saja. Beberapa orang mengatakan, "Cobalah m...