Sudut Ruang

39 3 1
                                    


*****

Edgar berkali-kali berdecak kesal, dia akan membanting layar monitor yang ada di depannya, jika hal itu tidak akan memperburuk keadaan. Pasalnya, beberapa laporan keuangan dari beberapa proyek di luar kota mengalami kekacauan yang cukup besar.

Jika sudah terjadi hal seperti itu, Edgar tidak akan tinggal diam di balik meja kerja, dia akan turun tangan langsung untuk mengecek ke lapangan. Dia bukan orang yang akan membiarkan kekacauan berlarut dan menimbulkan kekacauan baru yang lebih besar. Ada banyak pekerja yang akan menerima dampak jika dia terlambat bergerak.

"Siapkan tiket pesawat untuk saya nanti malam." Ucapnya pada seseorang di sambungan telfon genggamnya. Padahal jika bisa, dia akan berangkat sekarang juga, namun dia harus menyiapkan perlengkapan untuk keperluannya beberapa hari di luar kota, yang semua barangnya ada di rumah. "Balikpapan."

"Ada masalah." Jawab Edgar lagi, sembari membereskan berkas di mejanya, memasukkannya kedalam tas kerja beserta laptopnya. "Tidak tahu berapa hari, mungkin sampai urusan di sana beres."

Edgar melangkah ke sisi lain meja, untuk mengambil dua gulungan kertas yang berisi shop drawing yang sudah dipastikan itu adalah hasil kerja Nada, dia menyimpannya ke dalam brangkas miliknya. "Tidak cuma ke Balikpapan. Mungkin juga langsung ke Dumai, Pekanbaru."

Setelah mengunci kembali brangkasnya, dia beralih menuju ke jendela kaca besar yang ada di ruangannya, di luar sedang mendung, tapi tidak kunjung hujan, hanya angin yang meniupkan dedaunan di sekitaran kantornya. Saat berdiri di sana, dia berharap ketenangan, apalagi jika melihat seseorang di bawah sana ketika tak sengaja sedang lewat, dengan senyum dan tawa riangnya. Yang sudah satu Minggu ini kurang berinteraksi karena sedang memegang proyek yang berbeda. "Sepertinya ada yang mencoba memanipulasi data keuangan. Saya harus memeriksanya langsung."

Dan akhirnya hujan turun, air mengalir di kaca bagian luar, sedikit menutupi pemandangan diluar sana. Jika dia berada di luar, mungkin saja dia akan mencium aroma tanah yang tersiram air hujan, kesukaannya. "Baiklah, terimakasih. Nanti kirim saja link nya ke saya." Edgar menutup telfonnya, ponselnya ia masukan ke dalam kantong celananya. Menyambar tas kerjanya lalu keluar dari ruangan itu, sebelumnya dia akan memeriksa tidak ada yang tertinggal dan mengunci ruangan itu.

Meninggalkan kantor beberapa hari mungkin tidak akan menjadi masalah, yang bermasalah adalah pikirannya, mungkin juga hatinya, dia tidak bisa melihat orang itu secara langsung untuk beberapa hari, membuatnya merasa ada yang menghimpit dalam dirinya. Aneh, apakah dia sudah move on dari masa lalunya.

Edgar menyalakan mesin mobilnya, lalu menjalankannya, menerobos air hujan yang sudah cukup deras. Dalam keheningan ruang dalam mobilnya, dia menghirup aroma kopi dari pengharum mobil yang masih menggantung sejak terakhir ia pergi bersama dengannya, sudah lama, namun dia tidak lagi mengganti pengharum itu dengan pengharum miliknya lagi.

Apakah itu cara untuk melupakan masa lalu yang ia ciptakan sendiri. Atau memang itu adalah jalan yang sudah Tuhan siapkan untuknya, agar dia tak lagi berkubang pada masa lalu yang menyiksanya.

Bersamaan dengan itu, bayangan masa lalunya melintas di sebelahnya, duduk di sebelahnya dengan lagak tawa yang memenuhi mobil. Edgar menyukai tawa itu, karena dia sudah berjanji akan menyukai apapun tentangnya. Dia juga berharap sebaliknya. Namun, semesta tidak mengijinkannya.

Dia pernah rapuh, namun dia memilih untuk tidak menampakkan sosok lain dalam dirinya, selain menjadi pria yang gagah dan tangguh, seakan tak ada hal yang membuatnya goyah. Tapi jika sendiri dia pernah menjatuhkan dirinya pada rokok dan minuman beralkohol sebagai temannya, begadang adalah cara untuk menghabiskan waktu, dia lupa akan istirahat dan asupan sehat untuk tubuhnya, bahkan dia melupakan rutinitas olahraganya, hingga sebuah penyakit menyerang lambungnya, dua tahun lalu.

Singgah [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang