Sebuah potret awal

39 5 1
                                    

*****

Untuk ketiga kalinya Nada melihat jam dinding yang menggantung di dinding dapurnya, menunjukan pukul 7 pagi, dan dia kembali menatap cangkir tehnya, yang sebenarnya gula di dalamnya sudah larut, tetapi dia masih mengaduknya entah putaran yang ke berapa kali.

Nada merasa, hanya untuk membuat satu cangkir teh saja dia menghabiskan waktu hingga lima belas menit, rekor terlama, bukan.

"Kak." Nala yang duduk di salah satu stool di mini barnya akhirnya bersuara, mungkin merasa heran dengan sikap kakaknya. "Lama banget bikin tehnya?"

"Eh, Dek."

"Belum selesai ngaduk gulanya?" Nala melirik cangkir teh yang masih di aduk oleh Nada. "Kayaknya udah larut tuh."

"Ini udah kok, Dek." Nada sedikit merapikan toples berisi gula dan kotak teh ke tempatnya kembali. "Udah sana, ahh."

"Itu tamu udah kehausan kali, kak." Setelah mengatakan itu, Nala segera berdiri dan berlari kecil menuju tangga sebelum mendapat cubitan dari kakaknya, berhenti sebentar di awal anak tangga untuk menatap Nada kembali. "Kak, kayaknya dia suka sama kakak. Sampai rela pagi buta udah nyamperin ke rumah."

"Dek ... diem deh!"

"Kenalin lain kali, yah." Dan Nala segera naik ke lantai atas, sebelum Nada benar-benar melayangkan cubitan seperti biasanya, ketika dia meledeknya.

"Huft." Nada menghembuskan nafasnya pelan. "Dia ngapain si, dateng sepagi ini?" Tanyanya pada diri sendiri tentang seorang pria yang kini sedang ngobrol dengan ibunya di ruang tamu. Padahal setahu Nada, dia tidak benar-benar membuat janji untuk hari ini, tapi ternyata pria itu tidak pernah bercanda dengan ucapannya.

"Silahkan diminum tehnya." Ucap Nada seraya menyuguhkan secangkir teh beserta sepiring penuh dengan potongan brownies buatan ibu ke atas meja. "Maaf lama."

"Makasih, Nad." Jawabnya. "Ibu nggak minum juga?" Tanyanya pada ibu.

Tunggu. Sepertinya ada yang janggal. Sejak kapan pria itu mendapatkan ijin untuk memanggil ibu Nada dengan sebutan ibu juga. Sembarangan saja, atau ibu sendiri yang telah menyuruhnya.

Ibu menggeleng. "Ibu udah bikin kopi." Kentara sekali jika ibu sangat bahagia pagi itu. Mungkin karena pertama kalinya semenjak perceraian Nada dengan Pandji, ada seorang pria yang berkunjung ke rumah. Dan yang pasti ibu sudah berfikiran yang tidak-tidak, dalam istilah yang baik, maksudnya. "Kalau gitu ibu masuk ke dalam ya, nak Edgar?"

Edgar mengangguk. "Iya Bu, silahkan."

"Ya udah ibu tinggal dulu ya."

"Iya, Bu."

"Punya pacar kok nggak bilang-bilang sama ibu si." Bisik Ibu pada Nada, lalu pergi meninggalkan keduanya di ruang tamu.

Sejenak suasana di ruangan itu senyap, hanya terdengar gemericik air dari aquarium yang berada di sana.

Nada berdeham, lalu duduk di sofa yang tadi diduduki oleh ibunya. "Kenapa dateng sepagi ini?" Tanyanya.

Edgar meraih cangkir tehnya lalu meminumnya hampir setengah, selain dia memang haus, tehnya juga sudah dalam kondisi hangat, jadi memudahkannya untuk menghabiskannya. "Saya sudah bilang akan antar kamu ke sekolah anak kamu bukan?"

"Saya kira mas Edgar bercanda."

"Memang pernah saya bercanda?"

Nada bergeming.

"Dimana anak kamu?" Tanya Edgar sambil mengedarkan pandangannya, dua puluh menit dia sampai di sana, belum juga melihat anak perempuan berkeliaran di rumah itu. "Belum lihat saya dari tadi."

Singgah [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang