17

13.6K 2.3K 200
                                    

hari bersama jeno kemarin telah berlalu. pemuda na itu kembali bersikap seperti biasa padanya. cenderung ketus walaupun terkadang sedikit kekanak-kanakan.

nyatanya mark menyadari bahwa kantung di bawah mata jeno masih bertahan, membuat dirinya tidak tega untuk terus menyuruh sang pemuda mengerjakan esai. oleh karena itu, setelah memeriksa dan memperbaiki beberapa kesalahan kecil di esai tersebut, ia pun meminta yang lebih muda untuk kembali ke apartemennya: beristirahat dan meluangkan waktu untuk bersantai.

setelah dipikir-pikir, mungkin setelah seluruh urusan esai dan lomba ini berakhir, jeno pasti dapat beristirahat dengan cukup lagi.

mark menghela napas, mengeringkan wajahnya yang basah dengan handuk sebelum menatap lurus pantulan wajahnya di cermin.

"sekarang hari sabtu, pasti jeno sedang tidur kan? hm, baguslah," gumamnya pelan.

namun, lima detik setelah kalimat tersebut keluar dari bibirnya, mark mendadak tersadar. cepat-cepat kembali membasuh wajahnya dengan air, memandangi cermin dengan perasaan yang begitu campur aduk.

"kenapa aku memikirkan dia?!" kedua mata bulat itu melotot kaget sebelum memukul kepalanya berulang kali. "gila, gila. okay, aku gila. sepertinya aku butuh udara segar."

mark menggaruk kepalanya. berjalan keluar dari kamar mandi dengan kerutan dalam di dahi. tiba-tiba ia terdiam sejenak di tengah ruang tamu, seperti tengah memikirkan sesuatu. tak lama, kepala dengan surai basah itu mengangguk-angguk.

"benar, aku butuh udara segar."

....

"ayo kita berolah raga!" seru mark penuh semangat.

ia sudah siap dengan kaus hitam dan celana putih pendek selutut, lengkap dengan sepatu nike kesukaannya: setelan yang selalu ia gunakan setiap ingin berlari di sekitar gedung apartemen.

dengan senyum merekah lebar di wajah dan niat bahwa ia harus menyegarkan pikiran, tangannya pun bergerak membuka pintu apartemen diikuti gaya merenggangkan tubuh, hanya untuk menemukan seorang pemuda bertopi hitam dengan masker putih yang menutupi wajah baru saja keluar dari pintu apartemen di depannya.

rahang mark terjatuh begitu saja saat dua manik dibingkai lensa itu tanpa sengaja bertautan dengan miliknya.

"jeno?" panggilnya, sedikit ragu.

yang dipanggil pun segera membungkukkan tubuh. melepas topi dari kepalanya, membuat helaian surai lembutnya menjadi berantakan.

"halo, kak," sapanya.

seulas senyum tipis ia berikan pada sang pemuda. perlahan menurunkan tangannya yang sebelumnya melayang kaku, kemudian mengusap tengkuk malu. "kau ingin ke mana?" tanyanya, basa-basi.

"dokter hewan," di balik masker pipi adik tingkatnya itu terangkat naik, melirik tas kucing di depan dadanya, "aku harus mengurus anakku."

jawaban—yang menurutnya—aneh itu berhasil membuat kedua alis mark sontak terangkat naik. melemparkan tatapan bertanya pada pemuda yang berdiri di hadapannya.

"a—anak?"

"maaf, maksudnya kucingku hehehe. namanya seol, kak."

"oh."

mark mengangguk mengerti, lalu memberi tatapan gemas pada jeno yang tengah berbicara entah apa pada kucing di dalam tasnya. tak lama, pemuda itu mendongak dan menatapnya dengan mata membulat, membuatnya segera membuang pandangan.

"kakak sendiri ingin ke mana?" tanya pemuda itu.

"entah," ia mengangkat bahu, melirik takut kucing adik tingkatnya yang melihatnya lurus dengan raut galak, "aku hanya ingin berolah raga sebentar."

"oh, okay." pipi pemuda itu lagi-lagi terangkat naik. "kalau begitu aku duluan ya, kak."

jeno kembali membungkukkan tubuh padanya sebelum mulai berjalan menjauh. mengeluarkan balasan yang terdengar begitu lucu pada kucingnya yang tiba-tiba mengeong keras di tengah koridor.

mark terdiam menundukkan kepala, memandangi sepatu hitamnya sekilas sebelum beralih pada sosok pemuda yang tengah menunggu lift terbuka.

"jeno?" panggilnya, cukup keras di antara heningnya suasana lantai mereka.

pemuda na itu menoleh. "ya?"

pintu keabuan lift mulai terbuka. namun, jeno tetap berdiri di luar, menunggu mark untuk berbicara. tepat ketika lift kembali tertutup, satu kalimat keluar dari belah bibirnya diikuti satu kurva lebar di wajahnya.

"boleh aku ikut bersamamu?"

ia dapat melihat dengan jelas bahwa pemuda itu sempat tersentak kecil, mengerjapkan mata dengan cara paling menggemaskan yang pernah ia lihat.

wajah jeno memang tertutup masker. namun, entah mengapa mark dapat merasakan kehangatan terpancar dari kedua mata pemuda itu yang kini melengkung indah.

"tentu."

the warmest things i've foundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang