33

12.8K 1.8K 51
                                    

saat itu tengah musim dingin di bulan februari pertengahan. salju sudah tak turun sederas minggu-minggu sebelumnya, tapi tetap saja udara masih begitu dingin apabila berada di luar ruangan hanya bermodalkan balutan sweater besar seperti yang jeno kenakan saat ini.

"wah, hari ini aku benar-benar sial! sudah ketahuan tidur di kelas asisten dosen aneh itu, sekarang justru mantelku kena tumpahan kotoran burung," sungutnya sembari membersihkan jejak kotoran di mantelnya dengan tisu basah yang baru ia beli dari minimarket di bawah gedung apartemennya. "kesal, kesal, kesal!"

"ini semua salah jaemin yang mengajakku bermain game sampai larut malam. mana aku tahu kalau profesor kim ternyata sedang sakit, sampai meminta asistennya mengajar," jeno berdecak kencang, "tapi, aku baru tahu kalau beliau memiliki asisten dosen. siapa namanya? mark lee, ya? hm, benar namanya mark. kalau diingat-ingat saat kelas tadi, sepertinya si mark ini menyebalkan."

selembar tisu basah kembali ia tarik dari dalam bungkusnya, mengulang aktivitas yang sama yang sudah dilakukan tigapuluh menit lamanya. bagian pundak yang terkena kotoran burung pada mantel kotak-kotaknya sudah lumayan basah. namun, tetap saja bekas tersebut belum juga hilang.

"huh, lebih baik aku tidak mencari masalah dengannya. kesan pertamaku sudah buruk, mana aku ditunjuk sebagai ketua kelas pula," gerutunya, sebelum mengendus pelan mantelnya dan mengernyit jijik. "aish, kenapa tidak hilang-hilang juga baunya?!"

dahi jeno berkerut dalam, sudah terlalu lelah untuk melanjutkan acara membersihkan mantelnya. punggung berbalut sweater biru tua tersebut mendarat ke sandaran bangku sembari mengerang pelan. netra badam itu memandang lurus payung besar di atas kepalanya pada tempat duduk depan minimarket, sebelum dibiarkan terpejam.

"lho, na jeno? wah, benar. halo, jeno."

"siapa?! tidak lihat aku se—kak mark?!" kedua manik jeno sontak terbelalak begitu mendapati mark, yang sejak tadi ia kesali, tiba-tiba muncul di hadapannya. tubuhnya menegak, menatap asisten dosennya dengan pandangan tidak percaya. "sedang apa di sini? aduh, aku minta maaf aku tertidur di kelasmu tapi, jangan mengejarku sampai ke tempat tinggalku juga dong."

ucapannya justru direspon pemuda lee itu dengan kernyitan di dahi. "aku tinggal di apartemen ini juga, jeno."

ia mengerjap, bingung. "...hah?"

"tempat tinggalku di sini," jawab mark santai sembari menarik kursi di hadapan dirinya dan mendudukinya.

"oh," jeno mengangguk mengerti, memasang wajah datar meski sebenarnya saat ini rasa malunya telah mengalahkan tingginya gunung everest, "okay."

pemuda na itu segera membetulkan posisi duduknya, berusaha untuk terlihat tenang kemudian kembali mengurus kotoran di mantelnya yang belum juga hilang. sedikit bergidik ketika hembusan angin kencang menerpa kedua manusia di luar minimarket tersebut.

"dingin ya?" tanya mark, sepertinya sadar akan pergerakan kecilnya tadi.

atensi jeno berpindah sekilas dari mantel ke pada kakak tingkatnya itu, lalu mengangguk pelan. "sedikit," jawabnya.

"aku tinggal sebentar, tidak apa-apa?"

"silahkan, kak! tidak apa-apa kok!"

jeno tidak tahu maksud kata 'sebentar' yang mark ucapkan tadi adalah lima menit atau duapuluh menit. namun, yang pasti ia merasa seperti orang bodoh yang mau-mau saja menunggu asisten dosen tersebut keluar dari dalam minimarket.

sebentar, kenapa aku menunggunya?!

decakan malas keluar begitu saja dari belah bibirnya. ia mengangkat bahu tak acuh, memilih untuk kembali ke kegiatannya yang belum selesai tetapi, baru saja tisu basah di tangannya ia gosokkan, sebuah rasa hangat mendadak menjalar di pipinya.

jeno menoleh, mengerjapkan kedua matanya dengan cepat saat wajah mark dengan senyum lebar memasuki ruang pandangnya. netra badamnya kemudian melirik pipinya. ada gelas kertas di sana.

"susu cokelat hangat untukmu," ujar pemuda lee itu, menaruh gelas tersebut di atas meja lalu kembali duduk di hadapannya.

ia menunduk, bergumam pelan, "terima kasih, kak."

siang menjelang sore hari itu, keduanya berbincang tentang banyak hal hingga tanpa sadar pandangan buruk jeno terhadap mark menghilang begitu saja. fakta yang terpenting, pemuda lee itu tidak menertawakannya saat ia bercerita bahwa mantelnya habis dijatuhi kotoran burung.

mark mengecek jam di pergelangan tangannya, sebelum memasang wajah kaget. "wah, sudah sore ternyata. aku pergi dulu ya. sebenarnya niatku hanya ingin menyapamu, tapi kita sampai mengobrol lama. aku senang berbincang denganmu, jeno. kau, orang yang menyenangkan."

"iya, kak," jawab jeno singkat, tidak tahu harus membalas apa.

asisten dosen tersebut berdiri diikuti oleh dirinya yang sontak ikut berdiri, walaupun di detik berikutnya ia tersadar dan segera kembali duduk. satu kekehan panjang lepas begitu saja dari belah bibir tipis pemuda di hadapannya itu.

"jeno, boleh berdiri sebentar?" tanya sang pemuda.

ia mengerutkan dahi, menggeleng kecil. "untuk apa, kak?"

"berdiri saja," ulang mark hingga dengan setengah bingung setengah kesal jeno pun berdiri di depan pemuda itu. netranya memicing, memandang pemuda lee tersebut penuh curiga sementara yang ditatap tengah melepas mantelnya dan membalas dengan seulas senyum lembut. "pakai ini."

"tubuhmu tidak mungkin merasa hangat dengan susu cokelat saja, bukan?"

"tapi, kakak?"

"jangan permasalahkan aku. kau tidak boleh sampai jatuh sakit, kita baru saja bertemu hari ini."

jeno hanya terdiam, membiarkan mark membantunya memakai mantel yang anehnya sedikit kebesaran di tubuhnya. sesekali melemparkan lirikan pada yang lebih tua saat pemuda leo itu mulai melilitkan syal rajut di lehernya. ada pertanyaan yang entah mengapa hadir di kepalanya: apa debaran yang saat ini ia rasakan wajar?

mark menjauhkan tubuh, tersenyum senang melihat penampilan adik tingkatnya yang jauh lebih baik dibanding sebelumnya. sudah ada mantel dan syal miliknya yang ia yakin akan membuat pemuda na itu merasa hangat.

"kak mark—"

"sampai jumpa lagi, na jeno."

"terima kasih."

asisten dosen itu berjalan meninggalkannya di depan minimarket. membiarkan punggung berbalut turtleneck putih dan celana panjang hitam itu dipandang lembut olehnya dengan seulas senyum lebar di bibir.

salju memang tengah berjatuhan di sekelilingnya. namun, perlakuan mark kepadanya berhasil memberi sentuhan hangat pada hati jeno. sejak saat itu, susu cokelat hangat dan mantel tebal menempati posisi tersendiri di dalam hidupnya.

the warmest things i've foundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang