"aku pulang."
"kenapa senyum-senyum seperti itu?"
jeno tersentak, cepat-cepat mengubah lengkung di bibirnya menjadi satu garis lurus. menatap jaemin yang duduk santai di sofa ruang tengah, meminum secangkir kopi hangat sembari menonton drama di televisi.
"bukan kenapa-kenapa kok. tumben kau pulang cepat? tidak main ke rumah renjun dulu?" tanyanya lalu mengganti sepatunya menjadi sandal rumah.
berjalan santai menuju ruang makan, kemudian meneguk segelas air putih yang sudah kembarannya itu siapkan untuk dirinya.
"kau yang pulang terlalu lama, jeno. sekarang hampir jam tujuh malam. hari ini aku tidak ke rumahnya." ada suara decakan keluar dari bibir jaemin sebelum gerutuan karena dramanya habis terdengar oleh kedua rungu jeno. "oh iya, jeno. mumpung kau masih pakai baju pergi, bisa tolong belikan aku kopi dan gula? kopiku sudah mau habis."
"kenapa tidak bilang daritadi?" jeno merengek, malas campur kesal. menatap jaemin dengan raut memohon, berharap kembarannya itu berubah pikiran. ia kan baru saja sampai, masa harus keluar lagi.
"hehehehe maaf. aku lupa, jeno." pemuda na itu menampilkan cengiran tak merasa bersalah andalannya. "sudah, cepat belikan. ambil saja kartu kreditku di dompet. beli barang apapun sesukamu."
"cih, iya iya," balasnya.
jeno mendengus, lalu menaruh gelas kembali ke atas meja. menaruh tas ranselnya ke samping jaemin sebelum berjalan menuju pintu.
....
senyum di wajah jeno terus mengembang sejak obrolannya dengan mark di parkiran tadi. mark mengajaknya menonton di bioskop. mark mengajaknya berkencan. bukankah itu artinya ia selangkah semakin dekat dengan asisten dosennya itu?
senandung riang terdengar sejak ia membeli barang di minimarket apartemen hingga membuat jaehyun, kasir di sana menggeleng-gelengkan kepala karena ulahnya. bahkan paman kyungsoo, pemilik restoran di depan gedung yang juga tinggal satu lantai dengannya, bertanya padanya karena bingung.
"tidak apa-apa, paman. setelah penantian panjang, akhirnya sebentar lagi aku akan mempunyai kekasih." begitu jawab jeno ketika ditanya oleh paman yang biasanya selalu memasang wajah datar itu.
apartemen miliknya sudah terlihat. ia menekan sandi pintu dengan gembira, membuka benda kayu persegi tersebut dengan penuh semangat.
"jaemin, gula kesukaanmu hab—aku... maaf."
dengan langkah tergesa, jeno segera meninggalkan pintu apartemennya yang terbuka. berjalan menyusuri koridor sembari meremas kuat kantung belanja di pelukannya, menahan semua perasaan yang mendadak bercampur aduk di dadanya.
bibir tipis itu digigit kencang, dengan dahi yang berkerut dalam. ia sungguh tidak suka perasaan seperti ini: ketika rasa kaget, kesal, kecewa, sedih, dan bingung berkumpul menjadi satu.
jarinya menekan tombol lift berulang kali, mendesis ketika pintu besi itu begitu lama terbuka. seruan dari mark dari dalam apartemennya terdengar memenuhi seisi koridor, membuat bibir itu pun berakhir mengeluarkan umpatan kasar.
"cepatlah! cepat!" jeno bergumam. sesekali melirik angka yang tertera di atas lift, belum juga lantainya. "sialan!"
"jeno, sebentar! aku bisa jelaskan!"
asisten dosennya itu berseru keras, tidak peduli dengan beberapa orang yang menatapnya bingung.
"ayolah!"
begitu lift terbuka, jeno segera masuk ke dalam. menekan tombol untuk menutup benda itu secepat mungkin, membiarkan sosok mark dengan wajah penuh sesal tiba di hadapannya seiring pintu menutup.
"jeno," panggil tetangganya itu.
ia hanya menggeleng, memberi tatapan sendu pada sang pemuda yang kembali memanggil namanya dengan lirih.
dalam keheningan di dalam benda elektronik tersebut, jeno menghela napas panjang. tertawa miris ketika menyadari jika pemikiran bahwa mark kini menyukainya ternyata hanyalah suatu kebodohan belaka. pemuda lee itu tetap menyukai jaemin. pemuda lee itu tetap menyukai kembarannya.
kedua netra berkabut tersebut menangkap pantulan wajah sedihnya di pintu lift. satu senyum miring sontak terlukis, diikuti sebuah dengusan sinis. "menyebalkan, aku menjadi orang bodoh hanya karena kak mark," gumamnya.
setetes air mata jatuh begitu saja menyusuri pipinya. ia mendongak, berusaha menahan tangis yang dengan kurang ajar semakin meluncur dari kedua matanya.
"jangan menangis, na jeno. jangan menangis. itu bukan salahmu kalau kak mark tidak membalas perasaanmu. benar, itu bukan salahmu."
jeno tidak ingin jatuh lebih dalam. tidak ketika ia melihat mark menggenggam erat tangan jaemin di ruang tamu apartemennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
the warmest things i've found
Fiksi Penggemarmark selalu menemukan sebotol cokelat hangat di depan pintu apartemennya.