28

12.1K 2K 148
                                    

jeno tetap hadir di kelasnya. pemuda itu tampak seperti biasa—belajar, mendengarkan, dan tetap membantunya jika ia meminta—seakan tidak habis melakukan sesuatu pada dirinya.

tidakkah jeno tahu bahwa hati mark berdenyut ingin berbincang dengan pemuda itu seperti biasa saat mereka sering bersama dulu? tidakkah jeno tahu? pasti jeno tidak tahu.

kelas berakhir lebih cepat karena mark merasa tidak begitu bersemangat untuk mengajar, walaupun tetap saja sehabis ini ia masih harus mengajar kelas lain. tolong, sampaikan pada profesor kim untuk cepat sembuh agar beliau dapat mengajar lagi karena sungguh ia sudah tak tahan untuk terus mengajar adik tingkatnya.

"permisi—oh, halo. permisi." mark berusaha menyalip kumpulan mahasiswa yang tengah mengobrol ria di depan ruang kelas, berakhir mengabaikan sapaan dari mereka untuk mengejar sang pemuda yang tadi keluar melewati pintu belakang kelas. "jeno. jeno."

jeno menoleh, melemparkan sorot mata penuh kebingungan yang tertutup raut ketus. tangan pemuda itu memeluk erat bukunya sementara separuh wajahnya tertimbun syal rajut putih.

menggemaskan, batin mark sembari mengulum senyum tipis.

"ya, kak?" tanya sang pemuda dengan suara datar, membuat yang ditanya sontak menyadarkan diri.

ia menggaruk tengkuk, melemparkan satu senyum canggung. "kau pulang, eum aku... itu, bagaimana?"

jeno mengerutkan dahi meski tak lama kemudian mengangguk mengerti. "aku pulang sendiri," jawabnya.

"ingin pulang bersamaku?" kedua mata mark mengerjap penuh semangat, membiarkan harapan bahwa pemuda di hadapannya akan menerima tawarannya mulai memenuhi dirinya. "maksudnya, kau tahu sudah beberapa hari ini kau selalu bersama haechan."

ia menipiskan bibir, menunggu balasan dari pemuda na tersebut dengan gugup. mengabaikan debaran jantungnya yang terdengar ricuh karena netra sang pemuda kini mengarah lurus kepadanya.

satu dengusan terdengar diikuti ujaran tajam yang membuat hatinya mendadak remuk. "memangnya masalah?"

mark terdiam, membalas sorot sendu dari kedua manik jeno dengan pandangan tak percaya. tangan di kedua sisi tubuhnya perlahan mengepal, menahan semua rasa yang mendadak bercampur aduk di dalam dadanya.

"aku bersama siapapun itu bukan urusan kakak, kan?" ujar pemuda april itu lagi.

"itu memang...," ia berulang kali membasahi bibir, berusaha untuk menyampaikan semua kalimat yang sudah tersusun rapi di kepalanya walau hasilnya berakhir sia-sia, "tapi—"

jeno tersenyum sinis, membuang wajah mark sebelum menatap dirinya lagi dengan kedua mata menyipit tak senang.

"kalau tidak ada yang ingin kakak bicarakan, aku permisi. masih ada hal lain yang harus aku lakukan."

ke mana perginya seluruh perbendaharaan kata yang sudah mark pelajari selama duapuluh tahun ini? sepertinya mereka semua menghilang begitu saja karena raut dingin bercampur sedih milik jeno berhasil membuatnya takut untuk berbicara dan membuat hati sang pemuda terluka lagi.

punggung berbalut mantel dengan ransel keabuan itu menghilang di antara lautan mahasiswa. meninggalkan dirinya yang kembali mengabaikan sapaan dan pertanyaan dari adik-adik tingkatnya.

pada akhirnya mark membiarkan jeno pergi, lagi.

the warmest things i've foundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang