jeno melangkahkan kaki dengan begitu tergesa menuju parkiran apartemen. netra badam itu kini terlapis kristal bening yang sibuk meluncur turun dari pelupuknya.
"sial, aku menangis lagi." ia mengumpat pelan sembari mengusap kasar jejak air mata di pipinya. kini, memaksakan seulas senyum cerah muncul di wajahnya meski tetap saja kedua manik yang memerah itu tidak akan bisa ditutupi. "haechan tidak boleh melihat keadaanku yang seperti ini."
pandangannya bergulir, mencari mobil milik haechan yang sudah ia hafal warna dan bentuknya. cih, mana mungkin ia tidak ingat rupa mobil yang begitu mencolok itu: mobil sedan merah yang diberi gambar aneh dan berbagai tempelan stiker nyentrik.
"mana mobilnya?" jeno bergumam bingung sembari memutar kepala mencari kendaraan yang nihil kehadirannya.
tin tin!
suara klakson diikuti lambaian tangan membuatnya menoleh. dahinya mengerut dalam sembari melangkah mendekat begitu mendapati sebuah mobil sport biru yang terlihat baru terparkir tepat di depan pos sekuriti.
"mobil siapa ini?" tanyanya. mendaratkan tubuh di bangku empuk mobil teman sekelasnya tersebut.
yang ditanya segera tersenyum lebar, penuh rasa bangga. "tentu saja mobilku."
"ke mana shinchan? jangan-jangan kau jual?!"
"seenaknya! kau pikir mobilku hanya satu?!"
"siapa tahu." jeno mengangkat bahu, tak acuh lalu memakai sabuk pengaman. "sudahlah, ayo berangkat."
"siap, pangeran!" balas haechan diiringi kekehan senang.
mobil baru haechan segera melaju meninggalkan parkiran gedung apartemen, bergerak membelah jalan yang hari ini tidak begitu padat. tidak sana obrolan di antara kedua adam tersebut, seakan-akan membiarkan lagu xoxo milik exo mengalun pelan dari radio untuk mengisi keheningan.
pemuda lee itu berdeham, melemparkan lirikan kecil pada pemuda di sebelahnya sebelum kembali mengarahkan atensi pada jalan di depan mereka. "jeno," panggil sang pemuda.
"kenapa?" sahutnya, tanpa menoleh sedikitpun dari jendela.
"aku melihatmu mengusap mata tadi. ada apa?"
"bukan apa-apa."
"ayolah jeno, sudah berapa kali aku mengatakan kalau aku akan selalu ada di sampingmu? jika ada sesuatu yang menganggumu, aku mohon katakan padaku."
tangan jeno meremas kuat mantelnya. berulang kali membuka mulut untuk mengatakan sesuatu pada haechan. namun, berulang kali juga bibir tipis itu mengatup kembali.
tiga lampu merah telah dilewati oleh kedua pemuda tersebut, hingga di lampu merah keempat barulah sang pemuda april tersebut mengeluarkan suara.
"itu, eung... haechan."
haechan menoleh, mengulas senyum lembut pada pemuda di sampingnya sembari mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama lagu.
"sudah ingin bercerita padaku? tapi tidak apa-apa kalau belum, aku tetap akan menunggu sampai kau siap. lagipula aku tahu semua tentangmu."
jeno berdecak. rasa kesal mendadak hadir dalam dirinya. wah, temannya ini benar-benar hebat dalam memutar-balikkan mood-nya. "bicaramu itu berlebihan sekali," cibirnya.
kekehan ringan keluar begitu saja dari belah bibir sang pemuda lee setelah mendengar respon dari pemuda na tersebut, seiring tangannya bergerak menggelitik dagu yang lebih tua: kebiasaan yang selalu haechan lakukan setiap merasa gemas dengan tingkah jeno.
"aku memang tahu semua tentangmu kok. warna favoritmu, makanan kesukaanmu, kebiasaan kecilmu, bahkan lagu yang beberapa hari ini kau dengar. aku tahu semuanya," jawab haechan dengan nada sombong meski diam-diam batinnya berujar sedih, aku tahu semua tentangmu, jeno. kecuali cara untuk mendapatkan hatimu.
helaan napas kecil terdengar dari pemuda lee itu sebelum menipiskan bibir dan bertanya, "jadi?"
"aku...," jeno kembali meremas mantelnya, sedikit ragu untuk melanjutkan ucapannya, "eum, apa kau pernah berpikir ingin berhenti menyukai seseorang?"
"tentu, bahkan saat ini pun aku tengah berpikir seperti itu."
"maaf."
"bukan salahmu, jeno. aku mengerti kalau kita memang lebih pantas menjadi teman. jadi, kau ingin berhenti menyukai seseorang?"
"iya."
"mengapa?" haechan bertanya dengan suara pelan, ikut merasakan kesedihan yang pemilik hatinya tersebut alami. kemudian, menggerakkan tangan untuk melepaskan remasan yang pemuda april itu lakukan pada mantelnya sembari berujar penuh kekhawatiran, "jangan meremas mantelmu terlalu kencang. tanganmu sampai memutih seperti ini, jeno."
satu senyum sendu terlukis di wajah jeno seiring rasa sedih bercampur sesak yang memuncak di dadanya. kalau dipikir-pikir, mengapa ia harus jatuh pada seseorang yang tidak akan pernah menjadi miliknya? apa jatuh cinta memang seperti itu? terasa menyenangkan di awal, tapi berakhir menyakitkan.
kepala dengan surai cokelat itu menunduk, mengusahakan satu kurva tipis terbit di wajah rupawan tersebut.
"karena aku tahu tak peduli sekuat apapun aku berusaha, hatinya tidak akan pernah datang kepadaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
the warmest things i've found
Hayran Kurgumark selalu menemukan sebotol cokelat hangat di depan pintu apartemennya.