Prolog

101 14 4
                                    

Seorang gadis terlihat tengah berlatih dengan sebuah pedang panjang ditangannya. Dia terlihat sangat lihai menggunakan pedang itu. Bukan hanya sekedar berlatih menggunakan pedang saja, tapi gadis itu juga sesekali melakukan beberapa serangan kepada boneka jerami yang dibuatnya. Dia melompat cukup tinggi kemudian menancapkan pedangnya tepat di dada boneka jerami itu.

Tak hanya itu, dia kembali mengambil pedangnya. Dia kembali berlatih dengan pedang panjangnya itu. Memainkan pedangnya dengan berbagai tehnik sambil sesekali berputar, melompat dan terus memainkan pedang panjangnya bak seorang ksatria yang sudah sangat lihai menggunakan pedang.

"Everyia!" bentak seorang wanita paruh baya yang kini terlihat melangkah dengan tatapan tajam yang seakan menghunus gadis itu. Sepertinya dia marah karena melihat gadis itu sedang berlatih pedang.

Gadis itu menegang setelah mendengar suara bagai petir yang cukup memekakkan telinga. Kegiatannya langsung terhenti begitu melihat seorang wanita paruh baya dengan wajah marah sedang berjalan  ke arahnya. Gadis itu segera menyimpan pedangnya dan menyambut wanita paruh baya itu dengan perasaan was-was.

"Selamat siang, Ibu. Ada urusan apa ibu datang ke sini? Tidak biasanya ibu datang menemui saya di tempat latihan," ucap gadis itu sambil tersenyum, ia berusaha menyembunyikan rasa takutnya agar tidak terlihat atau terbaca oleh wanita paruh baya itu.

"Everyia! Kamu ini seorang perempuan, kamu tidak boleh bermain di tempat seperti ini! Tempat ini hanya untuk laki-laki bukan perempuan sepertimu! Tempat perempuan adalah di rumah bukan di sini!" ucap wanita paruh baya yang berstatus sebagai ibu dari gadis itu.

"Oh, ayolah, Ibu. Sudah berapa kali saya bilang, saya ini tidak ingin sama seperti perempuan yang lain. Saya tidak ingin berada di rumah saja, saya ingin berada di medan perang seperti Ayah. Saya ingin menjadi seorang panglima perang seperti ayah," ucap gadis itu sambil menatap langit dan kembali memegang pedangnya.

"Apa kamu bilang! Tidak ada perempuan yang bisa berada di medan perang. Hanya laki-laki yang bisa berada di medan perang, perempuan hanya di rumah, mengurus rumah! Kamu harus ingat ucapan Ibumu ini. Perempuan itu hanya di rumah!" bentak wanita paruh baya bernama Niylan itu.

"Ibu, wanita itu bisa berada di medan perang, salah satunya saya. Saya ini kan sudah sangat lihai menggunakan pedang, bukan hanya itu, saya juga sudah sangat pandai bertarung. Jadi saya yakin, saya pasti bisa menjadi seorang panglima seperti ayah," ucap Everyia.

"Sekuat apapun tekadmu, Ibu tidak akan pernah mengizinkanmu untuk berada di medan perang! Apalagi menjadi seorang panglima seperti yang kau impikan! Tidak akan pernah!" bentak Niylan kemudian pergi meninggalkan putri tunggalnya itu.

Mendengar bentakan sang ibu, hati Everyia terasa teriris. Matanya mulai mengeluarkan embun bening, tapi dengan cepat dia menghapusnya. Dia berlari ke arah seekor kuda yang sedang asik memakan rumput. Tanpa memperdulikan beberapa orang yang tengah menatapnya, dia langsung menunggangi kuda kesayangannya dan memacunya kencang memasuki hutan.

Dia menuju tempat kesukaannya, di kaki sebuah bukit. Di sinilah dia, dia meluapkan semua emosinya di sini. Ada sebuah danau di kaki bukit itu, dia duduk di sebuah batu besar yang berada di tengah danau. Sungai itu sangat tenang, tak ada seorang pun di sana, hanya ada dirinya yang kini sedang diam dengan tatapan kosong.

Gadis itu menatap bayangan dirinya di air sungai itu, butiran embun bening itu kembali keluar dari matanya, tapi seperti tadi dia kembali menghapusnya. Tak peduli berapa kali embun bening itu menembus matanya, dia tetap terus menghapusnya seakan tak suka dengan cairan bening itu.

"Semangatlah Ev, tunjukan pada mereka bahwa kamu bisa," ucap Everyia menyemangati dirinya sendiri.

"Beberapa hari lagi akan di adakan pemilihan ksatria kerajaan, aku harus mengikutinya, tapi tidak boleh ada yang tahu bahwa aku juga mengikuti pemilihan Itu."

Bersambung....

EVERYIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang