Menatap bulan biru yang berada di tengah-tengah merahnya langit, itu lah yang kini di lakukan oleh gadis berambut pirang yang terurai indah itu. Dia sedang menikmati indahnya malam di temani kesunyian yang menusuk jiwa, tidak ada siapapun di tempat itu kecuali dirinya."Bisakah aku kembali? Aku merindukan mereka," lirih gadis itu.
"Aku merindukan mereka. Kapan aku bisa kembali?"
"Tempat ini ... indah, tapi tetap saja aku merasa kesepian. Padahal orang-orang di sini sangat baik padaku, tapi kenapa aku selalu merindukan mereka." Perlahan setetes air mata meluncur di pipinya.
"Everyia? Apakah itu kau?" tanya seseorang dari belakangnya.
Gadis yang di panggil Everyia itu langsung menghapus air mata yang sempat membasahi pipinya, kemudian ia menoleh ke belakang. Seorang pemuda berambut coklat tua menghampirinya kemudian duduk bersamanya di atas sebuah batu besar yang sedari tadi gadis itu duduki.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Samuel.
"Hanya sedang menikmati malam," jawab Everyia.
"Kenapa hanya sendirian?"
"Tidak apa, aku hanya sedang ingin sendiri." Samuel mengangguk kemudian menatap bulan biru yang menghiasi langit merah itu.
"Bulan tempat ini sangat indah, langitnya juga sangat indah. Biru dan merah, melambangkan air dan api, dua sifat yang berbeda, berani dan kebaikan."
"Kata-kata yang bagus." Samuel menatap Everyia sekilas kemudian kembali menatap bulan.
"Tidak sengaja terucap," ucap Everyia sambil terkekeh pelan.
"Emm, Samuel ...."
"El, saja jika kau mau." Samuel kembali menatap Everyia, tapi kali ini lebih lama.
"Emm, iya. El, apakah aku boleh bertanya tentang sesuatu?"
"Tentu. Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Awan itu." Jari menunjuk sebuah awan besar dan hitam. "Ada apa dengan awan itu? Awan itu tidak pernah berpindah tempat dan selalu berwarna hitam, kenapa?"
"Kau memperhatikan ternyata. Apa kau yakin ingin mengetahuinya?"
"Aku sangat yakin."
"Baiklah aku akan menjelaskannya. Awan hitam itu adalah ... Negeri Awan yang di kutuk."
"Negeri Awan? Bukankah kamu mengatakan bahwa Negeri Awan sudah menghilang?"
"Ya, Negeri Awan memang menghilang, tapi tidak dengan awannya. Tujuh belas tahun yang lalu di saat kelahiran putri pertama dari Ratu Lertyia dan Raja Gilbert. Semua orang di lima negeri di undang tanpa terkecuali, termasuk si Penyihir Kegelapan." Samuel menghembuskan nafasnya sejenak, kemudian kembali melanjutkan ucapannya.
"Saat tawa pertama putri terdengar, semua bersorak gembira kecuali Penyihir Kegelapan. Dia sangat membenci kebahagiaan, apalagi saat dia mengetahui sebuah ramalan yang mengatakan bahwa penyihir kegelapan terkuat itu akan lenyap di tangan putri keturunan dua bangsawan terkuat di lima negeri di dimensi sihir selatan."
"Lalu?"
"Semua orang tahu, Ratu Lertyia dan Raja Gilbert adalah bangsawan terkuat di lima negeri di dimensi sihir selatan. Semua orang yakin putri itu akan mengalahkan Penyihir Kegelapan. Dan karena itu, Penyihir Kegelapan marah dan mengutuk Negeri Awan, dan menghilangkannya entah kemana, tapi ramalan mengatakan putri itu akan mengalahkan Penyihir Kegelapan, jadi dia pasti masih hidup," jelas Samuel sambil menatap Everyia.
"Jadi putri itu masih hidup? Menurutmu di mana dia sekarang?" tanya Everyia sambil menatap Samuel.
"Kau mau tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EVERYIA [END]
FantasyPernahkah terbayang dalam pikiran kalian, kalau kalian akan tersesat didunia antah berantah? Tempat yang dipenuhi oleh manusia yang berbeda dengan tempat kita berasal. Tempat yang dipenuhi sihir dan membuat kita memikul tanggung jawab besar hanya da...