22. Veno Laknat

3.4K 278 21
                                    

   
   Reina mengurut Pelipisnya pelan, Sejak kepulangannya dari Surabaya Tiga hari lalu, Rasa-rasanya Pekerjaan di kantor makin Melimpah. berkali-kali Perempuan itu Menundukkan wajahnya Di Atas Meja, Berkas-berkas Berserakan Di sekitarnya, tak ia perdulikan lagi. ia Hanya butuh istirahat, Diam-diam Air matanya Meluncur, hal yang sudah tidak pernah ia Lakukan, Yakni menangis. Meratapi kehidupannya yang penuh liku.

    "hikss..." tangisnya makin dalam, Memecah keheningan Kantor Di Malam ini. tidak ada lagi penghuni dikantor ini, dan Ia tidak perlu Menutupi kesedihannya lagi.

    ditengah tangisnya yang berderai, Reina merasakan Sesuatu bergolak, membolak-balikkan perasaannya dengan cepat. tak dapat ia pungkiri lagi, ia rindu orang tuanya. semakin berusaha ia menghindar, semakin sakit belati yang menghujam kedalam batinnya. kenapa jalan yang harus ia tempuh semenyakitkan begini,apa alasan tuhan sebenarnya, tidak bisakah malam ini semuanya menjadi indah, tanpa harus ada yang tersakiti begini.

drrtt..

  getaran ponselnya menyudahi acara tangis malam ini. diliriknya Sebuah nama yang terpampang di layar  Ponselnya. buru-buru Reina menghapus Sisa air matanya, Dan berakting bahagia di depan Sang ibu panti.

  "assalamualaikum teh."

   "waalaikumsallam Bunda, Ih kok malam-malam Begini bunda belum tidur sih?."

   "Bunda keinget teteh jadi enggak bisa tidur, Kangen kitu udah lama enggak nelpon atuh."

   "duh, maaf ya bun, teteh Sibuk banget, Beberapa hari yang lalu malah teteh baru balik dari surabaya, ada kerjaan mendadak disana."

   Reina menjelaskan Dengan hati-hati,  khawatir Bunda  Akan sedih.

   "teteh Sehat?."

   "Alhamdulillah, Bunda sendiri Gimana, Maaf ya bun Teteh Jadi jarang Kabarin Bunda, Disini Teteh Bener-bener Enggak Dikasih Waktu buat Leha-leha Bun."

    "Bunda Insyaallah Disini Sehat teh, Jujur aja Bunda khawatir Sama teteh, Keadaan Teteh gimana disana, makanan teteh, Dan orang-orang Disana Ke Teteh gimana?, "

   mendengar serentetan kalimat ibu panti, Tiba-tiba Perasaan Reina Kembali tersentil. Air matanya turun jua, kalah Oleh Gengsi yang selama ini ia Munculkan.

    "Makasih Ya Bun Udah Khawatirin Teteh?, Teteh disini Baik-baik aja berkat Doa Bunda, Makasih Bunda Udah mau jadi Bundanya Aku, Rein Sayang Sama Bunda."

   "bunda Jauh lebih Sayang ke Teteh, Bunda enggak Pernah putus doain teteh, Semoga Teteh Bahagia Dimanapun Teteh Berada."

   Doa tulus yang terpanjat dari seorang Ibu, Ialah Keajaiban. Reina Butuh itu Sekarang, Obat penguatnya Selain Tuhan, Yakni Sang Bunda, yang mampu memposisikan Diri Antara Peran Ayah Dan Ibu.

   "Ya sudah Teteh Jangan lupa Jaga kesehatan , Lima waktunya enggak Boleh Ketinggalan, Bunda tunggu kedatangan teteh lagi, Bunda tutup Ya teh Assalamualaikum.."

  "waalaikumsallam."

   Usai sambungan Telepon tertutup, Reina Memejamkan matanya, Menarik Kilas memori kehidupannya Bertahun-tahun yang lalu Disebuah panti Asuhan Yang Kecil Dan jauh dari keramaian. Reina Kecil Sering kali menangis, ketika Ia tahu Bahwa Panti Asuhan ialah Tempat Untuk menampung Manusia tak Ber ibu dan Ayah. Yatim piatu, Begitu terselip Di Namanya. Dia Tidak tau Bahwa kemudian Gelar itu menyakitinya secara Tidak langsung, Padahal Sudah  jelas Orang Tua kandungnya masih Hidup.

   dia Dibuang, Begitulah kira-kira persepsinya, Sampai Mengenyam Bangku Sekolah Menengah Atas Pun, Kadang Nyeri Memanggilnya Anak Haram. Meskipun Faktanya belum jelas, Orang-orang itu Justru sibuk Menghujamnya Dengan Tega. Bukan Kesalahan Dia kalau Memang Ia anak Haram, Bukan Maunya Juga kalau memang terlahir Di dunia ini. dia Juga layak Disebut Anak oleh Orang Tua kandungnya, Tapi bukan Untuk dibuang.

 Saranghae BosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang