VII

6 3 1
                                    

    Hari ketiga, Salwa masih juga terbaring lemah di rumah sakit. Bukannya makin sehat, Salwa justru merasa bahwa dirinya malah makin parah.

Sementara itu di sekolah...

“Salwa kemana ya? Kok udah 3 hari gak masuk sekolah.” Batin Farrel. Dari 2 hari yang lalu, Farrel selalu memerhatikan kelasnya Salwa. Namun, ia juga belum menemukan Salwa. Farrel jalan menuju ke kantin. Ia melihat Ega duduk sendirian di kantin sedang bermain handphone dengan snack di depannya. Farrel mendatangi Ega.

“Ga...” Farrel menuju Ega dengan sedikit berlari. Ega hanya mendongak saja. “Salwa kemana ya? Udah 3 hari ini dia gak masuk sekolah?”

“Lah? Elo gak tau? Kemaren itu kan dia kecelakaan. Tangannya luka. Makanya dia di rawat.” Jawab Ega santai.

“Lah, ko gue gak tau? Lo sendiri, ga jenguk dia?”

“Yaelah...” Ega menepuk lengan Farrel. “...gue mah dari kemaren dah jenguk Salwa. Gue setiap pulang sekolah pasti maen ke RS.”

“Berarti ntar sore lo kesana lagi?” Tanya Farrel. Ega hanya menangguk. “Bareng sama gue ya?”

“Yaudah, gue tunggu lo di depan komplek.” Farrel mengangguk dan pergi meninggalkan Ega.

Sorenya, Ega sudah berdiri di mulut komplek menunggu kedatangan Farrel. Beberapa menit kemudian, Farrel datang dengan motornya.

“Ayo, Ga.” Ega mengangguk dan naik ke motornya Farrel. Mereka berdua langsung pergi ke RS tempat Salwa dirawat. Sesampainya disana, Farrel hanya mengikuti jejak Ega untuk menuju ke kamarnya Salwa. Karena, Ega sudah hafal.

Tok... Tok... Tok...

Cklek...

“Ega. Ayo masuk. Salwa di dalem.” Sambut Tante Wulan. Ega mengangguk dan masuk diikuti Farrel.

“Salwa...” Panggil Ega. Ega menaruh buah yang ia bawa di meja, dan memeluk Salwa pelan.

“Lo kesini tiap hari emang ga ngerepotin?” Tanya Salwa lemas.

“Santai aja kali.” Ega duduk. Ia melihat Farrel hanya berdiri di ujung kasur. “Duduk napa si, Rel.”

Farrel mengangguk dan duduk di sofa. “Kapan lo kecelakaan gini, Sal?”

“Yaa... 2 hari kemaren lah.” Ucap Salwa santai.

“Trus, ko tangan lo bisa luka gitu?”

“Iya, kan kemaren itu gue nabrak tiang gitu, jadinya tangan gue kena besi tiang. Nah, untungnya tangan gue gak sampe patah.” Terang Salwa.

“Kaki lo? Kenapa?” Tanya Farrel lagi.

Salwa hanya mengangkat bahunya. “Ketiban motor lah.”

Mereka bertiga sibuk mengobrol sampai matahari terbenam. Farrel pamit pulang duluan. Kalau Ega, ia masih ingin mengobrol dengan sahabatnya ini. Menurutnya, satu hari tanpa Salwa itu benar-benar membosankan. Makanya, ia berpuas-puas main sama Salwa.

Jam menunjukkan pukul 7. Ega pamitan kepada Salwa untuk pulang. Takut kemaleman.

“Sal, gue balik dulu ya. Lo gaboleh banyak pikiran, biar cepet sembuh. Besok harus udah di rumah.” Ega memegang tangan Salwa untuk menyemangatinya. Salwa hanya mengangguk. Ega melambaikan tangannya dan keluar dari kamar Salwa. Salwa merasa dirinya sangat lelah. Ia memejamkan mata dan mulai tertidur.

Tak lama kemudian, Mama nya Salwa sudah kembali dari luar dengan membawa Dion.

“Em... Tante. Kayanya, Salwa tidur deh.” Ucap Dion.

“Gak apa-apa. Bentar Tante bangunin dulu.”

“Ehh Tante. Gausah gak apa-apa. Gausah dibangunin. Saya pulang aja. Kasian Salwa.” Tahan Dion.

“Gak apa-apa. Udah tunggu bentar.” Tante Wulan menaruh makanan yang ia bawa di meja, dan membangunkan anak kesayangannya itu. “Salwa...” Tante Wulan agak menggoyangkan badan Salwa.

“Hm?” Tanya Salwa pelan. Namun matanya masih tertutup.

“Ada Dion itu, Nak. Ayo bangun.” Salwa perlahan membuka matanya dan menguceknya pelan. Ia melihat ada seorang laki-laki yang sedang berdiri di ujung kasur sambil memegang kakinya.

“Dah, Dion. Tante mau pulang dulu sebentar. Tante mau ambil bajunya Salwa. Tante titip Salwa yah?” Tante Wulan mengambil tasnya dan keluar. Ia juga sempat membelai bahu Dion.

Dion duduk di samping Salwa. Ia memegang tangan kanan Salwa erat-erat. Ia terkadang juga menciumnya.

“Kenapa sih?” Tanya Salwa heran.

“Lo kenapa pake sakit segala sih? Gue kan jadi gabisa main sama lo lagi. Curhat sama lo lagi.” Gerutu Dion.

“Kalo mau curhat silahkan. Gue siap mendengarkan.” Salwa tersenyum manis.

“Ngga ah. Nanti lo banyak pikiran. Jadi lama sembuhnya.” Dion mengusap kepala Salwa dan sedikit mengacak rambutnya.

“Jangan main rambut... dah tau rambut gue gampang kusut.” Kata Salwa sewot.

“Iya, sama kaya lo. Kusut.” Ledekan Dion berhasil membuat Salwa tertawa pelan. “Lo kapan balik sih? Gue pengen naik motor lagi sama lo. Pengen di peluk lagi sama lo.”

Salwa menjitak kepala Dion. “Apaansih?” Tanya Dion heran.

“Otak lo sini gue cuci dulu.”

“Ngapain? Nanti memori indah gue sama lo ilang.” Ucap Dion sambil mesem-mesem. Kali ini fix, Salwa dibuat baper sama Dion.

“Yeu... jangan gitu ah.” Salwa tersenyum.

“Lah, kenapa? Kan biar lo seneng, biar lo, mm... cepet sembuh...” Ucap Dion.

“Nih denger ya. Kemaren itu, gue meluk lo karena gue lagi sedih. Lagi butuh senderan.” Salwa mencolek hidung Dion.

“Yaudah. Sekarang gue mau nyender aja sama lo.” Dion merebahkan kepalanya di samping tangan Salwa. Salwa agak sedikit membelai rambut Dion.

“Beruntung banget gue. Bisa dapet sahabat sebaik, semanis, se uwu dia.” Batin Salwa. Salwa jadi merasa lebih baik karena perhatian Dion. Mungkin, selama ini, yang dibutuhkan oleh Salwa untuk pengobatannya adalah ‘perhatian’.
.
.
.
Bersambung...

Okee apdet, hari ini double yaww...

Terbit setiap->Rabu dan Jum'at

'Dalam Diamnya || Second'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang