XI

4 3 0
                                        

    “Ayo.” Dion merangkul pundak Salwa.

“Gue gak mau dirangkul.” Salwa melepas lingkaran tangan Dion. “Mending lo bawain jaket gue.” Salwa sudah ancang-ancang mau lepas jaket. Namun ditahan oleh Dion. Dion mendekatkan wajahnya ke wajah Salwa.

“Jangan dibuka. Lo baru sembuh.” Ucap Dion lalu menoel hidung Salwa.

“Kenapa sih?” Tanya Salwa sewot.

“Emang lo mau buka jaket biar apa? Mau pamer perban? Maur dari motor? Nabrak tiang listrik?” Dion tertawa dan mengacak rambut Salwa lagi.

Salwa hanya diam. Tumben ia hanya diam ketika diacak rambutnya.

“Heh. Lo kok diem?” Tanya Dion heran.

“Abis, gue kesel sama lo. Di ledekin terus. Udah tau gue gerah, makanya minta dibuka jaketnya.” Kata Salwa kesel. Tiba-tiba Dion melepas gelang yang ia pakai. Lalu mengikat rambut Salwa. Salwa tampak diam saja.

“Dah, gini kan cantik. Yo masuk.” Dion kembali merangkul Salwa dan naik ke atas. Mereka berpisah di tangga.

“Inget, jangan lari-larian.” Salwa mengangguk. Tangan Salwa masih ditahan oleh Dion. Dion menatap lama wajah Salwa, lalu pergi.

Salwa hanya geleng-geleng dan menuju kelasnya yang berada di paling pojok. Dari kemaren, Ega pulang kampung karena neneknya sakit. Jadi, yang anter jemput Salwa adalah Dion.

Pelajaran dimulai, Salwa melepas jaketnya dan mencantolkannya di kursi. Tangan kanannya masih terasa ngilu. Ia menaruh tangannya diatas meja, dan memangku wajahnya dengan tangan kiri. Ia masih bingung bagaimana caranya ia menulis.

“Sekarang, kalian salin catatan yang bapak tulis di papan tulis.” Ucap Pak Furkon. Guru Sejarah. Teman-teman yang lain sudah mulai mencatat, namun Salwa tidak. Salwa masih menatap kertas kosong, pulpen, dan tangan kanannya secara bergantian.

“Salwa.” Panggil Pak Furkon. Salwa menoleh. “Ada masalah?” Salwa diam sejenak. “Oh iya, bapak lupa. Tangan kamu lagi luka. Mm... gini aja. Kamu bisa hafalkan yang penting-penting saja di papan tulis, nanti bapak pap trus dikirim ke kamu.”

“Iya bener, Pak. Kasian si Salwa diem aja daritadi.” Ucap temannya Salwa.

“Iya bener, Pak.”

“Setuju, Pak.”

“Boleh tu, Pak.”

Semua teman Salwa mendukungnya. Perasaan seumur-umur author belom pernah nemuin temen kaya gitu. Malah jadi pada ngatain. Yaudah, kembali ke topik.

“Mmh, gausah gapapa, Pak. Saya bisa nulis pake tangan kiri kok.” Salwa mengangkat tangan kirinya. “Tapi, tulisannya jelek.”

“Yaudah, kalo itu suka-suka kamu aja. Kalo tangan kamu sakit, bilang ke Bapak aja ya.” Salwa mengangguk dan mulai mencoba menulis dengan tangan kiri.

“Gak gampang ternyata.” Batinnya. Namun ia tidak menyerah. Sampai akhirnya ia selesai dengan 1 lembar tulisan.

*****

“Tangannya masih sakit gak?” Tanya Dion sambil menoleh ke Salwa, lalu kembali lagi ke depan.

“Mm, engga kok.” Jawab Salwa polos.

“Tante Wulan sama Om Deni mau meeting sampe malem. Jadi nanti sore, gue temenin lo ke RS buat ganti perban.” Ucap Dion.

“Gausah, gak apa-apa. Gue bisa sama Syuja. Kalo Syuja gabisa, gue sendiri juga ga apa-apa.” Ucap Salwa sambil menyenderkan dagunya di pundak Dion.

“Gaboleh sendiri, tadi Tante Wulan nelfon gue. Katanya minta tolong buat nganterin lo.”

“Yaudah deh terserah.”

Sesampainya di rumah, Dion pulang dulu untuk ganti baju dan akan kembali lagi. Salwa masuk ke rumah dan buru-buru mengganti bajunya.

“Mau kemana lo?” Tanya Syuja.

“Ke rumah sakit, ganti perban.” Jawab Salwa sambil menyisir rambutnya.

“Sama siapa?”

“Bawel ih.” Salwa meletakkan sisirnya. Ia mengambil tas kecil miliknya dan keluar kamar. Tangan Salwa di tahan oleh Syuja.

“Ih... sama Dion!” Jawab Salwa.

“Udah, sama gue aja.”

Tiba-tiba handphone Syuja bunyi dan tertera nama Nabila disana.

“Tuh, lo sama dia aja.” Semprot Salwa membalikkan kata-kata Syuja. Ia turun ke bawah dan pergi bersama Dion.

Dokter keluar dari ruangan bersama Salwa. “Gimana, keadaan Salwa, Dok?” Tanya Dion.

“Emm... Mas ini siapanya ya?” Tanya dokter. Salwa dan Dion saling berpandangan.

“Sa-saya, saya kakanya, Dok. A-ada apa?” Jawab Dion terbata-bata.

“Luka di tangan Salwa semakin membesar. Apa Salwa sebelumnya terjatuh lagi? Atau semacamnya?” Tanya dokter.

“Sal, lo jatoh kemaren?” Bisik Dion.

“Enggak.” Jawab Salwa dengan berbisik juga.

“Ng-nggak ada, Dok.”

“Saran saya, sebaiknya jangan berkegiatan yang berat-berat dulu. Takut lukanya semakin membesar dan makin parah. Nanti saya kasih obat dalam untuk penghilang rasa nyeri.” Dokter itu menuliskan resep obat di sebuah kertas. “Ini, di taruh di apotek.”

“Iya, terimakasih ya, Dok.” Ucap Dion. Mereka berdua bangun dan keluar dari ruangan. Mereka menuju ke apotek dan meletakkan resep obat itu. Mereka duduk di ruang tunggu.

“Lo kemaren emang ada apa? Kok lukanya membesar?” Tanya Dion.

“Mana gue tau. Kemaren gue cuman nekuk tangan buat nulis.” Jawab Salwa santai.

“Hah?” Dion shock.
.
.
.
Bersambung...

Duh up nya sore-sore😓
Banyak tugas ni authornya:)

Gapapa yg penting bisa nyempetin buat up.

Selamat menikmati!!!

Terbit setiap->Rabu dan Jum'at

'Dalam Diamnya || Second'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang