XII

6 3 0
                                    

    “Kenapa emang? Salah?” Tanya Salwa polos.

“Ya iyalah Salwa Simanjuntak... luka lo melebar gara-gara tu tangan nekuk...” Jawab Dion gemas.

“Y-ya, gue minta maap, gue gak tau.” Ucap Salwa. Dion tertawa di dalam hatinya.

“Polos banget sih lu, Sal.” Batinnya. Dion hanya mengacak rambut Salwa pelan. Tak lama obat Salwa datang. Mereka mengambil obat mereka lalu pulang.

Malam nya, mereka makan malam bersama.

“Salwa, tadi ke rumah sakit sama siapa?” Tanya Mama.

“Sama Dion.” Ucap Salwa sambil memotong ayamnya.

“Syuja, kamu gak jadi nganterin?” Tanya Mama lagi. Syuja hanya menggeleng cuek. “Nabila lagi, ya?”

Syuja membanting sendoknya. “Mama tuh kenapa sih? Tiap Syuja ga sama Salwa yang disalahin Nabila lagi, Nabila lagi.” Syuja bangun dan pergi ke kamarnya. Mama menoleh ke arah Salwa. Salwa hanya mengangkat bahu.

Setelah selesai makan, Salwa naik ke kamarnya untuk tidur. Ia sudah menggosok gigi dan mencuci muka sekaligus tangan dan kakinya. Ia merebahkan dirinya di atas kasur dan membuka handphone nya.

Tok... Tok... Tok...

Krieet...

Salwa menoleh ke arah pintu. Ia tidak melihat seseorang disana. Tiba-tiba ada bayangan dan wujud manusianya.

“AAAAA!!!!!” Salwa menutup mukanya dengan telapak tangannya. Ia masih jejeritan.

“Eh jangan tereak-tereak.” Ternyata ada Syuja. Salwa sudah mematikan lampunya dan hanya menyalakan lampu tidur. Wajah Syuja tampak seram di kegelapan. Makanya Salwa malah jadi ketakutan.

“Ah lo ngagetin aja. Intro dulu kek kalo mao masuk.” Ceramah Salwa. Syuja hanya diam saja sambil tiduran disamping Salwa. “Apansih. Gue mau tidur. Sana keluar.”

“Tardulu, gue mau ngasih tau sesuatu sama lo.” Ucap Syuja.

“Apasih?!” Tanya Salwa sewot.

“Lo kalo denger Mama nyalahin Nabila belain gue kek.” Ucap Syuja.

“Dih, ngapain amat.” Jawab Salwa cuek. “Udah ah sana pergih.” Salwa mendorong badan Syuja hingga terjatuh ke lantai. Syuja menatap Salwa sinis. Lalu ia keluar dari kamar Salwa, dan menutup pintunya.

*****

Pagi ini wajah Salwa tampak tidak bersemangat. Ia tampak acak-acakan dengan baju berantakan, rambut di gerai, tangan terperban, sudah sangat persis seperti preman komplek. Dion yang melihat keberadaan Salwa di koridor langsung menyapanya. Karena hari ini Dion sangat senang.

“Slawa...” Panggil Dion sambil berlari. Salwa hanya sekadar menoleh dan melanjutkan jalan lambat nya. Dion datang dan langsung merangkul Salwa seperti biasanya. “Lo tau gak?” Tanya Dion. Salwa hanya menggeleng.

“Gue baru aja jadian!” Ucap Dion dengan sangat antusias.

“Waah...” Ucap Salwa tidak bersemangat.

“Lo gak nanya gue jadian sama siapa?” Tanya Dion lagi.

“Sama siapa?” Ucap Salwa cuek.

“Sisi.” Dion menepuk pundak Salwa sampai Salwa hampir terjungkal.

“Hah? Sisi?” Tanya Salwa.

“Iya, Sisi, yang sekelas ama lo.”

Seketika itu Salwa langsung mengingat kejadian pertama kali saat bertemu dengan Sisi. Dimana dia berebutan tempat duduk di pojokan.

“Oh, astaga. Sisi yang itu.” Ucap Salwa. Ia menggenggam tangan Dion dan sedikit menggoyangkannya. “Selamat ya.” Ucap Salwa dengan nada lesu. Lalu Salwa meninggalkan Dion dengan lanjut jalan menuju koridor paling pojok.

“Kenapa sih si Salwa? Kok kaya gak semangat gitu?” Batin Dion. Ia mengejar Salwa diam-diam. Salwa masuk ke kelasnya. Tepat sekali ia berpapasan dengan Sisi. Salwa hanya tersenyum singkat dan langsung masuk. Ia meletakkan tasnya di kursi dan duduk.

“Hai Dion...”

“H-hai...”

“Kamu tumben ke kelas aku...”

Salwa mendengar suara Dion dan Sisi sedang mengobrol. Ia rada tidak suka saat melihat pasangan tersebut. Biasanya, pagi-pagi seperti ini, Salwa dan Dion sudah nongkrong di kanitn. Bahkan, Ega sampai sekarang belum pulang dari kampungnya.

“Em, bentar yah. Aku mau ke Salwa dulu...”

Salwa agak terkejut ketika Dion ingin menemuinya. Padahal ia saat ini sedang ingin melamun saja menikmati kelas yang dingin dan sepi.

“Temenin aku aja yuk ke bawah. Aku temenin kamu ke atas deh naro tas. Ayo.”

Setelah suara Sisi, tidak ada lagi suara apa-apa selain suara lagu-lagu wajib yang di setel dari ruangan kepala sekolah.

“Harusnya gue yang sama Dion ke kantin.”

“Harusnya gue yang digandeng Dion.”

“Harusnya gue yang di perhatiin Dion.”

Semua kata-kata itu terngiang-ngiang di telinga Salwa. Tapi ia segera menggelengkan kepalanya dan kembali melamun.

“Semua siswa/siswi yang masih berada di dalam kelas ataupun di halaman, segera menuju ke lapangan. Kita akan melakukan apel pagi.”

Suara itu terdengar ke seluruh penjuru sekolah. Salwa bangun dan merapihkan bajunya dan juga mengikat rambutnya. Ia turun ke bawah dan langsung masuk ke barisan.

             Indonesia, Tanah Airku
            Tanah Tumpah Darahku
              Disanalah, Aku Berdiri
                  Jadi Pandu Ibuku

Semua murid menyanyi dengan lantang. Beda sekali dengan Salwa yang hanya membuka asal mulutnya. Ia selalu menunduk ke bawah. Entah apa yang difikirkan. Dion yang melihat Salwa dari kejauhan menjadi penasaran. Ia menyelunup dari barisan IPS ke IPA. Sampailah ia di kelas Salwa. Ia juga meminta izin kepada teman-temannya Salwa untuk maju ke barisan yang sejajar dengan Salwa.

“Dion...” Dion menoleh ketika ia mendengar  namanya disebut. Walaupun suaranya sangat pelan, namun masih dapat terdengar. Ternyata yang memanggilnya itu adalah Sisi. Sisi memang berada di barisan belakang. Dion hanya sekadar melambai dan tetap melanjutkan penyusupannya.

Setelah sampai di barisan sejajar dengan Salwa. Ia menepuk bahu Salwa. Salwa hanya menoleh sebentar dan kembali menunduk.
.
.
.
Bersambung...

Terbit setiap->Rabu dan Jum'at

'Dalam Diamnya || Second'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang