Khawatir

90 12 19
                                    

Arjuna

"Diya!"

Gue mengalihkan pandangan gue keasal suara, dan melihat pria paruh baya menghampiri kami, disusul wanita yang lebih sedikit muda.

"Papa."Gumam Diandra, dan gue bisa lihat tatapan sendu dimatanya.

Gue tersenyum melihat papa Diandra dan menyalaminya, tak lupa juga pada wanita disebelahnya yang gue pastikan calon ibu tiri Diandra.

"Siang om, tante." Mereka tersenyum.

"Papa cari kamu ke sekolah eh, gak taunya disini." Ujarnya tersenyum kecil. 

Gue melirik Diandra yang sedang memainkan ujung kakinya. Gue menyentuh punggung tangannya membuat dia terlonjak dan melirik kearah gue. Gue hanya mengangguk.

Dan Diandra langsung ikut menyalami keduanya. Calon ibu tirinya Diandra melirik kearah gue."Temennya Diya? Atau... "

"Temennya Diandra tante, saya nemenin Diya makan siang dan nunggu jemputan."Potong gue. Dan ini kali pertamanya gue menyebut Diandra dengan sebutan 'Diya'.

Dan dibalas anggukkan dan senyuman ramah dari beliau."Diya ayo ke mobil sayang. Tante bawa Diya nya dulu ya." Pamitnya melirik kearah gue yang hanya gue balas anggukkan.

Diandra gak ada noleh ke gue. Dia pasti sedih, gue tau dan gue memakluminya. Dehaman dari papanya Diandra menyadarkan lamunan gue.

"Terimakasih sudah menjaga Diandra." Ujarnya. 

Gue lagi-lagi tersenyum."Sama-sama om."

"Semoga kamu selalu ada untuk dia dan selalu menjaganya."

"Pasti om, saya akan selalu jaga Diandra."

Beliau mengarahkan pandangannya kedepan seperti menerawang."Om gak pernah liat Diandra senyaman dan sebahagia itu dekat dengan orang lain." Ucapnya, membuat gue tertegun sesaat.

Beliau terkekeh pelan dan gue bisa merasakan ada perasaan sesak didalamnya."Mungkin karena om sudah jauh dengannya. Om sudah membuatnya patah hati, membuatnya terluka."

"Om gak seburuk itu, Diandra tetap menyayangi Om dan menganggap Om sebagai ayah dan ... cinta pertamanya."

"Om harap begitu. Om pamit ya." Ujarnya dengan menepuk pelan bahu gue. Yang gue jawab anggukkan dan langsung menyalami tangan beliau.

***

Ada perasaan khawatir saat gue melihat wajah murung Diandra. Dia keliatan gak nyaman banget bisa gue lihat. Ah ... Gadis itu selalu membuat gue khawatir dan kepikiran belakangan hari ini.

Gue mengambil ponsel yang ada di samping gue kemudian mengirimkan beberapa pesan.

Diandra:

Udah pulang?

Makan jangan lupa.

Kalo ada apa-apa telepon gue.

Gue meringis pelan melihat pesan itu. Udah kaya pacar possesive banget gak si, gue? Ketukan pintu membuat gue mengalihkan pandangan.

Biasanya masuk, tinggal masuk."Masuk."

Gue melihat bunda menyembulkan kepalanya lalu tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuk memberinya akses masuk.

"Abang udah makan?" Bunda manggil dengan embel abang kalo depan Ical dan kalo lagi manis-manisnya.

"Udah. Bunda udah? Ical?"

"Udah kok, kan abis dari kondangan."

Gue terkekeh."Ada ayah tuh gak mau ngobrol-kangen?"

"Juna sama ayah gak se-alay itu"ujar gue terkekeh.

RelasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang