Rival

109 13 21
                                    

Diandra

Arjunanya Buaya: Di? Jantung aman? Gak copot kan sampe Usus dua belas jari?

Aku langsung memutar badan kebelakang dan menatap tajam Juna yang sedang cekikikan dengan temannya itu. Aku ambil pulpen Nara dan aku lempar.

Dan yeah! Aku merasa bangga karena lemparanku tepat. Semua orang terkesiap dan aku tertawa dengan ketiga sahabatku. Sampai celetukkan Johan terdengar."Jun, masih hidup?"

Dan Andra yang mengetuk kepala sebelah kiri Juna."masih ada otaknya enggak?" Membuat kami tergelak lagi.

Arjuna gak menanggapi ucapan dua teman laknatnya itu."Diandra." Panggil Juna.

"Apa lo?!" Tanyaku galak. Arjuna sama teman-temannya itu gak boleh dihalusin kata Aca.

"Ngapain lempar buku? Segitunya cari perhatian sama gue? Kalo minta peluk lagi bilang, gak usah kotorin tangan lo pake lempar buku segala."Ujarnya enteng membuat aku melotot dan sekelas jadi riuh. Sialan emang manusia bernama Arjuna ini.

"Wesss, gass mass Juna." Sahut Andra cekikikan.

"Arjuna sekalinya sepik ngena banget, gue aja baper sampe pengen gelindingin diri ke rawa-rawa." Kali ini Johan menimpali disertai tawa sekelas. Berapa kali aku harus mengumpat hari ini?

"Mulut lo tuh ya!" Aca maju dengan wajah merahnya. Gawat Aca kalo ngamuk gak tanggung-tanggung, aku lagi males banget ladenin buaya dengan Aca yang ngamuk.

"Udah, Ca. gak penting ngurusin mulut sampah kaya Arjuna!" Ucapku menenangkan.

"Jun mulut lo jual sana ke tukang loak biar bermanfaat." Timpal Irsyad dan lagi mengundang tawa.

***

Aku udah nunggu 1 jam di halte gak ada angkutan umum yang lewat. Iyalah, jam segini! Aku jadi menyesal gak nerima ajakan Iren pulang bareng. Hari ini aku dijanjikan untuk dijemput supir mama tapi sayangnya mobilnya mogok dan aku terpaksa nunggu dan ponsel ku mati.

Terpaksa aku menelusuri jalan nyari apa ajalah yang penting bisa pulang."Neng ojek neng." Aku berbalik dan menemukan Johan tersenyum bodoh. Yatuhan apalagi.

Aku mendengus kesal melihat tiga buaya rawa lainnya dibelakang Johan.  Udah kaya dayang dayang banget dan aku sadar kalo Johan tuh sok ngebos banget ya."Pergi gak?!" Usirku.

Johan malah terkekeh."Mana nih, macan-macannya?"

"Lagi nyari mangsa lain, Jo." Timpal Irsyad.

Johan memegang dadanya dramatis."Errrr, liarr sekali bambangg." Mulutnya minta dikasih semen tiga roda banget.

Suara klakson membuat kami memalingkan wajah kearah suara. Aku terkejut. Iyalah! Ada kak Ambar dengan seragam yang masih melekat ditubuhnya."Diya, belum pulang?" Tanyanya. Eh? Dia inget nama panggilan kecilku, ya? Padahal, Iren ngasih taunya udah lama.

"Di?" Tanyanya lagi.

Aku terkesiap."Ya?"

"Mereka gangguin kamu, ya?" Dia berujar dengan pelan.

Aku menggeleng."Eng ... enggak kok kak, mereka temen kelasku, mereka cuma iseng." Jawabku tersenyum canggung.

Kak Ambar menatap satu persatu keempat buaya dibelakangku, kemudian menatapku lagi."Kak Ambar anter, mau?" Maulah!

Aku menggaruk tengkuk bingung."Kalo gak ngerepotin ... boleh." Jawabku.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah Arjuna dan manusia laknat lainnya, yang sialnya masih memperhatikan gerak gerikku dengan kak Ambar dan untungnya gak ada celetukkan sinting dari mereka.

RelasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang