Masih sama?

52 11 52
                                    

Arjuna

Gue termenung melihat beberapa foto Diandra yang tersimpan diponsel gue. Kenapa perempuan itu menyusahkan? Sulit sekali, hanya untuk melepaskannya, melupakannya.

Diandra, si cewek sangar yang gue kenal, memang jauh berbanding​ terbalik ketika sudah berubah status menjadi pacar gue. Dia jelas bukan cewek sangar geng Aca, Iren, dan Nara. Dia hanya perempuan polos yang membuat tameng diri dibantu sahabatnya. Dia rapuh, kesepian, gue tahu itu.

Setiap hari, gue ingin melindunginya. Tapi, yang gue lakukan hanya menyakitinya belakangan ini. Kenapa Diandra punya ibu semengerikan itu? Dia memaksakan kehendak begitu saja, disaat dia sendiri sama sekali tidak membuat Diandra bahagia, dan gue benci itu.

Gue seperti memilih mati jiwa atau mati raga. Nggak ada pilihan, gue tetap mati. Meninggalkan Diandra, bukan jalan keluar dan bukan pilihan. Tapi, gue bisa apa? Lambat laun, itu akan terjadi. Harus.

Mengenai pembicaraan gue sore tadi dengan Angel, ketika gue masih mencerna ucapannya, dia malah menarik gue pergi, pulang. Dan menyuruh untuk melupakan apa yang dia ucapkan.

"Nggak penting, Jun. Nggak semua perasaan orang itu penting buat, lo." Hanya itu. Gue sedikit mencium kira-kira kemana pembicaraan itu terarah, tapi gue menyangkal, gue dia tidak ingin memikirkan dan menggali lebih dalam maksud dari perkataannya.

"Jun, ngelamun mulu, lo! Kesambet tahu rasa," ujar Johan membuyarkan lamunan gue.

Ah iya, sepulang dari tempat basket tadi, gue melihat ketiga nya sudah ada dikamar gue. Dengan keadaan yang-- sumpah demi apapun, gue benar-benar kesal hanya karena kembali melihatnya.

Apalagi bungkus jajanan berserakan dimana-mana, dan jangan lupa kaos kaki mereka disimpan ditempat tidur. Dan saat gue datang tadi,"Eh, Jun? Sini bobo. Mau ngopi? Panas apa dingin?" Itu Johan.

"Sini Jun, ikut berantakin kamar ini," kata Iryad menambahkan.

"Nggak usah sungkan gitu, Jun. Jadi enak," tambah Andra.

Gue hanya mendengkus, tidak ada permintaan maaf atau sogokan, mereka malah menyusahkan. Iya, karena memang terbiasa seperti itu. Semua kembali tanpa permintaan maaf. Itu baru pertemanan kata Johan.

"Kesambet tuh, kesambet Diandra," kata Irsyad menimpali.

Andra yang sibuk dengan PSnya melempar toples plastik kosong."Lo kata dia setan!"

Johan ikut menoyor kepalanya dari belakang."Tahu, dih. Emangnya elo setan."

"Ya, kali setan setampan gue. Insecure nanti manusia," sahut Irsyad yang sibuk dengan kaca kecilnya.

Johan bergidik sementara Andra memeletkan lidah."Lo sama gue juga gantengan gue, ya! Biji ketapang!" sergah Johan.

"Ngaca lo, seganteng apa, sih? Muka loakkan gitu aja bangga. Nggak usah sok keras," ejek Isyad.

Johan bersiap menerjang Irsyad sampai gue duduk menengahi."Apaan, sih? Mau gue sumpel satu satu mulut lo berdua?"

"Boleh, pake bala-bala tapi, ya?" ujar Irsyad sambil menyengir.

Johan menyingkirkan tangan gue yang membekap mulutnya."Gue pake saos kecap, tapi kecapnya ja--"

"SERAH, ASU!"

Johan dan Irsyad tergelak, begitupun Andra."Udah, jangan digangguin yang lagi galau. Jomblo menyingkir kalo perlu lenyaplah dari peradaban," tutur Andra membuat mereka mengumpat.

"Eh, mirror dong. Gue bikinin juga nih rumah kaca."

"Alah, sok sok an rumah kaca. Buat makan aja susah," canda Irsyad.

RelasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang