Ambyar

97 13 27
                                    

Diandra

Semalam, setelah aku mengingatkan anak kelas tentang tugas biologi, ada pesan dari Papa yang membuatku menangis semalaman.

Papa : Di? Besok papa jemput, tante Dela mau bertemu, sekalian kita bicarain gaun dan rencana pernikahan papa dengan tante Dela.

Papa dan mama memang sudah bercerai sejak 3 tahun yang lalu entah apa masalahnya yang pasti mereka cerai baik - baik dan aku memilih tinggal bersama mama karena ... yang aku lihat mama paling terpuruk disini.

Setelah mendapat pesan itu, paginya aku dititipkan surat undangan berwarna putih dengan tulisan nama Pratama Aneska dan Dela Ismia berwarna gold.

Aku tahu, papa tidak mungkin mengirim langsung kerumah karena alasan mama. Padahal, sejak tiga tahun lalu mama sibuk kerja hingga lupa pulang, itu yang membuatku mengajak teman - temanku kerumah sekedar melupakan perihal mama.

Tadi pagi, entah aku kerasukan apa mau - maunya dipeluk Arjuna. Tapi, aku merasakan nyaman ditengah perasaan sesak dan pilu, sampai teriakan Johan diluar kelas membuat kami terlonjak dan menjauhkan diri.

"Woy, ngelamun." Nara terkekeh merasa senang membuatku terkejut.

"Jangan dipikirin Di, nanti ikut gue shopping aja, gausah ketemu bokap lo." Aku meliriknya sesaat lalu kembali membereskan seragamku ke loker.

"Gak bisa gitu Ra, gue ... gak mau egois. Papa berhak bahagia."Ucapku ragu, entah kenapa rasa sesak itu kembali hadir ketika aku mengucapkannya.

Nara menghela nafas."Jangan nangis makanya, kalo itu yang terbaik buat kebahagiaan bokap lo."

Mataku tiba-tiba kembali memanas."Gue ... sayang sama mama Ra. Dia pasti sakit banget denger kabar ini."

Teriakkan Firdan membuat kami menoleh."Hey ciwi-ciwi, buruan ke lapang, orang udah pada diluar ini masih gibah aja."Ucap si seksi Olahraga.

Nara memutar bola mata malas."Bawel lo."

"Yuk, Di. Lo kuat gue tau, jangan sampe Aca liat lo nangis lagi deh. Emak-emak itu pasti ngomel lagi."Nara menarik tanganku.

Sesaat aku melewati Arjuna dan antek anteknya yang sedang duduk di depan kelas. Dan aku melihat senyum kecil diwajah Arjuna saat aku meliriknya. Dan jantungku berdetak aneh dengan tidak tahu dirinya.

"Di, nomer sepatu lo berapa deh?" Tanya Johan, saat aku sedang memakai sepatu.

"Harus tau banget ya? Mau beliin gue sepatu? Bayar dulu sana utang gorengan lo sama mang Tarjo!" Sahutku ketus.

"Harus tau dong, kan biar gue tau ukuran surga anak-anak gue." Timpalnya dengan kekehan menyebalkan.

"Anak apaan Jo, anak tuyul?" Tanya Andra.

"Anakonda kali kan Diandra nya garang." Kali ini Arjuna ikut menimpali. Kenapa sih, dia?

"Woaaa ternyata Ajun panas gaess." Heboh Irsyad. Mereka tuh gak bisa gak bikin emosi orang sehari aja kayanya.

Dari kejauhan, aku melihat Aca berlari kearah kami. Pasti dia udah nunggu."Gue tungguin lama banget, pantesan ternyata lagi dikerubungi laler."

"Laler? Tampan gini dibilang laler?" Tanya Johan pada teman - temannya. Dia nyari masalah banget sumpah.

"Ca, jangan gitu ih lo belum ngerasain ya? Dibuat ambyar sama gue?" Tanya Johan lagi.

"Muka lo gue bikin ambyar!" Timpal Aca membuat semua tergelak termasuk aku.

Irsyad menepuk bahu Johan."Muka ambyar gimana sih, gak beraturan gitu ya? Kaya gini? Acak acakan." Ujarnya sambil meneliti wajah Johan.

Sial aku ikut ngakak jadinya."Muka Johan nistaable banget emang." Timpal Andra.

RelasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang