Pertemuan

36 6 40
                                    

Arjuna

Sejak beberapa minggu ini, setiap hari libur ayah tidak ada dirumah bahkan tadi pagi sudah kembali ke kantor karena beliau sibuk dengan pekerjaannya dan gue meminta izin memasuki ruangan olahraga Ayah dilantai atas, yang memang jarang dipakai karena Ayah sudah jarang olahraga juga gue yang biasa olahraga bersama anak basket lain diluar.

Tadinya, gue dan Ari hari ini akan pergi ke lapangan tempat biasa kami latihan untuk nongkrong atau kumpul biasa. Namun, Ari ada keperluan lain membuat janji kami batal begitu saja. Jadi, seharian ini gue hanya diam dirumah seraya membantu merawat Bunda yang jatuh sakit lalu setelah itu baru bisa menyempatkan ke ruang olahraga, sampai-sampai enggak sadar jika ada Johan dan Irsyad yang sudah duduk manis dimeja makan.

"Bagus ye, nggak ngajak-ngajak olahraga bareng," seru Johan saat gue menuruni tangga. Gue hanya mendecih melihat dia berbicara dengan mulut penuh.

"Ngapain kesini?" tanya gue ketus. Sebenarnya gue tahu kenapa mereka ada disini karena semalam mereka memang beberapa kali meminta gue untuk pergi menguntit Andra yang katanya hari ini kencan dengan gebetan barunya. Namun, gue jelas menolak walaupun sama penasarannya, lagipula buat apa melakukan hal se-enggak berguna itu, sih?

"Nengokkin Bunda dong," sahut Irsyad seraya kembali mengambil sepotong lauk.

Gue hanya mendengkus lalu pergi memasuki kamar mandi untuk membersihkan badan gue yang terasa lengket. Setelah beberapa menit, gue kembali keluar dengan setelan santai seraya membawa PS.

"Kan gue bilang itu dibongkar!"

Gue menoleh saat mendengar suara gaduh di ruang TV dan berjalan menghampiri Johan dan Ical yang sedang saling pukul itu. Gue berdecak kesal melihatnya, memang bukan ide yang bagus jika dua orang itu disatu kandangkan.

"Cal, jangan gitu," tegur gue. Karena, bagaimanapun Johan, dia tetap orang dewasa yang harus Ical hormati, kata Bunda. Gue muak sendiri sebenernya.

Johan dan Ical sontak menoleh."Bang Johan, tuh!" adu Ical sambil menunjuk Johan yang memegang robot miliknya.

Lagi-lagi gue menghela nafas kasar, setiap hari gue memang harus banyak sabar menghadapi orang semacam teman gue."Lo juga diem kenapa, Jo."

Johan mengibaskan lengannya seraya mengambil makanan yang Irsyad pegang."Lah dia tadi minta robotnya dirubah jadi mobil, ya gue bongkarlah. Eh, malah marah anjir dikira dirusakkin," jawab Johan tak terima.

"Tapi itu rusak, bang Jo!" sangkal Ical. Wajah dan telinganya memerah menahan air mata.

Gue mengusak rambut geram, lalu menggendong Ical."Mana robotnya? Sini abang benerin," ujar gue mencoba lembut sampai akhirnya Ical memberikan robot itu pada gue seraya mengusap air matanya.

Dan gue melihat bagian kaki robot itu memang patah."Ini sih rusak," kata gue seraya mendelik kearah Johan, namun ia malah menyengir bodoh dengan menyembunyikan tubuh dibelakang punggung Irsyad.

"Jun, gue prihatin banget sama lo. Istighfar mulu tiap hari punya temen kayak setan!" ujar Irsyad sembari geleng​-geleng.

Johan menoyor belakang kepalanya membuat Irsyad mengumpat."Elu setan!"

Tangis Ical kembali pecah membuat gue kaget sendiri karena Bunda dikamar sedang tidur."Jangan nangis. Entar Abang benerin," ujar gue menenangkan.

"Nggak mau, nanti jadi jelek."

Gue menghembuskan nafas lelah."Ya udah, nanti abang beliin lagi."

"Mau sekarang!" rengek Ical, ia sampai memberontak di gendongan gue dengan suara nyaring.

RelasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang