40. Kamu

278 44 2
                                    

"Meskipun hanya permainan belaka, tetapi terasa bahagia. Biarkan berbunga-bunga, biarkan diriku merasakan semua rayuannya."

Reina

Devid kembali dari kamar mandi, sambil sesekali mengurut keningnya yang masih terasa pening. Saat melihat bayangan wajahnya di cermin, matanya nampak memerah dan Devid sudah menyiapkan jawaban dari siapa pun yang bertanya.

Dinda mendongak. Tak salah lagi, anaknya memulai skenario, demi menghindari pertanyaan dari Acha dan Reina. Ia membawa Devid menjauh sementara.

"Anter, mama, ke kantin, ya," ajaknya seraya bangkit.

Acha dan Reina masih berpelukan, jadi mereka tak melihat langsung kedua bola mata Devid yang memerah. Ibu dan anak itu berjalan beriringan, melewati orang-orang yang menyaksikan persidangan. Sampai di kantin, Dinda memilih meja paling pojok.

"Kamu kenapa?" tanya Dinda khawatir setelah duduk berhadapan dengan Devid dan mengelus rahang anaknya itu.

Senyuman Devid membuatnya terdiam. "Cuma mimisan, kok," jawab Devid membalas elusan tangan Dinda.

"Kenapa mata kamu bisa merah? Nangis?" tanya lagi Dinda masih belum puas.

Devid mengembuskan napasnya panjang. "Gak papa, Mama, yang pastinya lebih sakit, 'kan?" Mata Devid berkaca-kaca, diendusnya punggung tangan ibunya.

"Enggak. Mama lebih beruntung dari mereka, pulang, ya? Nanti makin drop," ujar Dinda memutus percakapannya.

Devid mendongak. "Cuma mimisan, kok," tolaknya meyakinkan Dinda.

Namun, ibunya sudah tahu dari Aryo, jika Devid mimisan harus segera diistirahatkan, sedangkan Devid, kembali kepada skenario buatannya. Ia harus tutup mulut adanya darah dari mulutnya, prinsipnya Dinda diusakan selalu tenang. Biarkan dia yang merasakan lukanya sendirian.

Sampai di depan ruang sidang. Tiba-tiba Sinta keluar, dia mendekap tubuh Acha gemetar. Namun, Acha hanya bergeming tak lagi menangisi. Dinda pun diperintah olehnya untuk membawakan dokumen ke rumah, sangat bertepatan Devid harus pulang.

"Ya, udah aku sama sopir aja," pamit Reina.

Namun, Dinda menyarankan ikut saja dengannya menemani Acha di rumah, lalu disanggupinya dengan cepat oleh Reina. Dinda mengendarai mobilnya bersama Acha dan Reina, sedangkan Devid membawa motornya sendiri. Ada rasa membuncah, entah apa, Reina akan tahu rumah Devid detik ini.

Sesampainya di depan pagar berwarna putih, Dinda menghentikan laju mobilnya dan langsung masuk ke rumah Acha, sedangkan Reina melihat halaman rumah yang asri itu. Devid membuka helmnya, ia mempersilakan Reina masuk ke dalam. Empat air lemon dingin sudah tersaji, membuat kerongkongan Reina enggan menolak.

Reina meminumnya dengan pelan, Devid  mengikuti. Acha masuk ke rumah, langsung duduk di samping Devid dengan menyandarkan kepalanya ke bahunya. Reina yang melihatnya hampir tersedak, untung saja teriakan Dinda yang pamit membuat dua orang di depannya tak memerhatikan.

"Main basket, kuy?" ajak Devid, tangannya mengelus pelan rambut Acha.

Reina meletakkan gelasnya yang setengah kosong. "Boleh, di mana?"

"Sebelah rumah, Acha, yang punya rumah lagi gak ada soalnya," jelas Devid mengingat pekarangan Yogi yang memiliki lapang basket mini.

"Lah, emangnya gak dikunci pagarnya?" tanya Reina heran.

Devid menidurkan kepala Acha di pahanya. "Enggak, dia baik kok," balas Devid.

Pandangan Reina seakan mulai risi, untuk menutupinya ia bangkit menuju pintu luar. "Mumpung cuacanya bagus!" seru Reina.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang