bab 45

258 23 0
                                    

Edrea

Hari ini adalah hari terakhirku berada di Paris. Besok aku akan kembali ke Berlin dan mulai menyambut hari-hari sibukku di kantor.

Ketika aku bertemu dengan Theo beberapa minggu yang lalu di salah satu coffee shop yang terletak di tengah kota, itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Hari itu aku memang menghabiskan waktu seharian hanya berada di kamar hotelku karena aku memang sama sekali tidak mood untuk berjalan-jalan saat itu. Mungkin memang benar kalau aku terlalu memikirkan kejadian di acara ulang tahun Jeanie di malam sebelumnya. Sampai saat ini, ketika aku sedang menyusun pakaian-pakaianku di koper, aku bahkan masih memikirkan hal itu—apakah Theo memang akan menikah dengan Jeanie?

Ngomong-ngomong tentang jalan-jalan, aku berusaha untuk mengalihkan pikiranku dari hal itu dengan berjalan-jalan pada keesokan harinya dan pada hari-hari berikutnya. Meskipun hal itu tidak sepenuhnya hilang dari pikiranku, setidaknya liburanku di Paris ini tidak diisi oleh aku yang bermalas-malasan di kamar hotel karena sedang galau—oh sebentar, apakah aku merasa seperti itu?

Kembali lagi pada topik awal. Keesokan harinya setelah pertemuanku dengan Theodore di coffee shop, aku mencari tiket kereta api untuk pergi ke Praha dan menghabiskan beberapa hari di sana. Lalu, setelah kembali dari Praha, aku pergi ke Menara Eiffel. Alasanku menunda-nunda pergi ke Menara Eiffel adalah karena aku berpikir kalau aku bertemu dengan Theo lebih cepat dan keadaannya tidak menjadi seperti ini, aku akan pergi bersamanya kesana. Tapi, apa yang harus dipermasalahkan kalau aku tidak jadi pergi dengan Theo kesana melainkan harus pergi sendiri? Toh, Menara Eiffel juga tidak hanya dikhususkan untuk orang-orang yang akan pergi bersama dengan orang lain. Aku juga pergi ke beberapa museum di Paris. Berjalan-jalan sendiri juga tidak kalah menyenangkan dengan berjalan-jalan bersama dengan orang lain.

Theo mengirimkanku pesan singkat beberapa saat yang lalu. Aku tidak bisa berbohong kalau aku kaget, senang, bingung, dan merasakan perasaan campur-aduk lainnya.

Theodore: Hai, Edrea.

Begitulah isi pesan singkatnya. Ya, hanya itu. Aku membalas pesan singkatnya itu dengan cepat.

Edrea: Halo, Theo.

Ya, hanya itu juga yang aku kirimkan. Aku tidak tahu harus mengirim balasan apa lagi ketika Theo sendiri hanya mengirimkan "Hai, Edrea" padaku. Tak lama kemudian, ia mengirimkan pesan singkat berikutnya.

Theodore: Kamu sedang apa?

Edrea: Aku sedang menyu—

Aku mengurungkan niatku untuk menjawab pertanyaan Theo meskipun aku sudah mengetik separuh kata. Aku berpikir kalau aku tidak perlu memberitahunya kalau aku sedang menyusun pakaian-pakaianku karena aku akan kembali ke Berlin besok. Maka dari itu, aku pun tidak membalas pesan singkat Theo lagi meskipun aku sudah membacanya.

Apakah aku salah melakukan hal itu padanya? Mungkin memang aku saja yang terlalu perasa. Tidak seharusnya aku bersikap seperti seorang anak remaja yang sedang jatuh cinta, lalu orang yang dia suka sedang menyukai orang lain juga atau berpacaran dengan orang lain, padahal aku sudah berumur dua puluh delapan tahun sekarang. Seharusnya aku memang bersikap lebih dewasa. Tapi, aku juga tidak bisa berbohong pada diriku sendiri kalau aku seperti merasa... sakit hati? Ah, aku rasa itu berlebihan. Toh, Theo hanyalah orang asing yang kebetulan aku temui dan kami berkomunikasi singkat.

Aku sengaja meletakkan handphoneku sejauh mungkin dariku supaya aku tidak perlu memusingkan apakah aku harus mengirimkannya balasan lagi atau tidak, dan aku juga tidak perlu berpikir mengenai perasaanku padanya. Tentu saja aku merasa diriku sangat aneh. Aku tidak mungkin jatuh cinta dengan seorang asing yang aku temui dan kami juga hanya berkomunikasi singkat. Aku tidak mengenal Theo sepenuhnya, dan Theo juga tidak mengenal diriku sepenuhnya. Lalu, untuk apa aku merasakan perasaan seperti ini? Aneh sekali.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan berharap kalau pikiran mengenai Theo, perasaanku, dan hal-hal sejenisnya bisa pergi dari pikiranku, tapi ternyata tidak bisa. Tak beberapa lama kemudian, handphoneku kembali berdering menandakan ada telepon masuk. Aku segera mengambil handphoneku yang aku letakkan di toilet.

Telepon masuk dari Jeanie.

"Hai, Dre," sapanya dengan ceria ketika aku mengangkat teleponnya.

"Halo, Jeanie. Maaf aku mengangkat teleponmu sedikit lama," balasku.

"Oh, tidak apa-apa, Dre. Memangnya kamu sedang apa sekarang?"

Tidak mungkin aku mengatakan kalau handphoneku sengaja aku letakkan di toilet supaya aku tidak memikirkan pesan singkat dari Theo dan mengenai hal-hal lain yang tidak perlu aku pikirkan.

"Aku sedang menyusun pakaian-pakaianku. Besok aku akan kembali ke Berlin, Jeanie."

Meskipun aku tidak memberitahu apa yang sedang aku lakukan sekarang pada Theo, setidaknya aku rasa tidak masalah kalau aku memberitahukannya pada Jeanie.

*.*.*

Retrouvaille ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang