Aku Natalia. Dua puluh tahun, mahasiswi hukum tahun ketiga. Kalau kau tanya apa yang menarik dari hidupku, ya, tidak ada. Monoton—diulang-ulang secara membosankan—pergi kuliah, pulang, membersihkan diri, kerja paruh waktu, lalu pulang lagi. Mungkin ada satu dua disimiliaritas, tapi tidak terlalu berpengaruh besar pada kegiatan rutinku. Jadi, sekali lagi, kalau kau tanya apa yang menarik dari hidupku, ya tidak ada.
Maka, kisah yang kubawa ini tidak akan berporos padaku, namun pada tetanggaku.
2
Aku tinggal di sebuah apartemen tidak jauh dari kampus—sekitar lima belas menit jalan kaki, sepuluh menit naik sepeda santai dan dua menit kalau aku bangun kesiangan—bukan tempat yang bonafit, yang penting bisa ditinggali (keluargaku tergolong menengah ke atas, tetapi menjadi mahasiswa perantauan itu berarti kau jatuh ke dalam jurang sobat proletar). Sudah tiga tahun aku tinggal di lantai lima apartemen ini dan tidak ada masalah berarti. Dari tujuh kamar, hanya dua terisi—aku, dan seorang mahasiswa seni di kamar ujung dekat tangga—kadangkala menjadi tiga sampai empat kamar terisi, meski tidak bertahan lama.
Sampai akhirnya dua orang lelaki muda pindah persis ke kamar di sebelah milikku; satu setengah bulan yang lalu. Mereka berpenampilan bagus, rupawan, dan yang paling penting, tinggi menjulang—dilihat sekilas seperti model—membuat benakku bertanya-tanya. Apa yang membawa mereka ke kompleks apartemen yang—hm, bagaimana mengatakannya, ya—tidak buruk, sih, tetapi agak kurang sesuai dengan penampilan mereka.
Aku hanya pernah berpapasan dua kali—satu ketika mereka memindahkan barang bawaan, dan dua di sore hari sepulang kelas—tidak banyak yang terjadi, hanya bertukar senyum formalitas selintas lalu. Mereka tidak ada niatan untuk berkenalan, kupikir, dan aku juga tidak terlalu ambil pusing.
Kesan yang selama ini kusematkan pada mereka hanyalah; misterius.
3
Misterius kepalamu.
Bukan tanpa alasan aku berseloroh demikian, sungguh.
Kukira hidupku yang monoton ini berjalan sesuai seperti alur yang sudah-sudah—setidaknya sampai tiga hari yang lalu, pukul sebelas malam—pintu kaca balkonku didobrak masuk oleh dua lelaki muda yang sudah satu setengah bulan tinggal di kamar sebelah. Baju rumahan ternyata terlihat bagus pada tubuh semampai keduanya, tapi tidak dengan senjata api di tangan.
"Halo, tetangga!"
Sumpah, itu adalah sapa dan senyum ramah yang pertama kali kudapatkan dari mereka—tepatnya dari yang berambut ikal—di jam sebelas malam, lewat balkon, dengan pistol terkokang.