Beberapa hari kemudian Elvina sudah dapat kembali ke kantornya. Ia tidak mengenakan sepatu ber-hak seperti biasanya. Tingginya yang 160cm membuatnya tampak pendek diantara teman-teman kerjanya, yang lebih tinggi darinya dan rata-rata menggunakan stiletto, kecuali Nancy. Elvina memotong pendek rambutnya. Ia tampak lebih segar dari biasanya.
"Bu Vina, enak banget sih sering cuti.. Udah kayak di perusahaan kakeknya aja." Sindir Siska.
"Bu Siska perhatian ya. Tapi pertama, saya opname, bukan cuti. Kedua, sering apanya, Bu? Tahun kemarin saya cuma ambil cuti 3 hari dari 15 hari lho." Elvina menyimpan barangnya di meja, "Ketiga, ini perusahaan bapak saya. Bukan perusahaan kakek saya." Lanjutnya santai.
Siska kesal. Sementara yang lain menahan tawa. Tak ada yang mempercayai ucapan Elvina, tentu saja. Sebagian besar dari mereka masuk ke Tirta bersamaan dengan Elvina sejak wawancara pertama. Tidak mungkin ada anak pemilik perusahaan yang menggunakan cara seperti Elvina, setidaknya begitu yang ada di pikiran mereka.
"Vin, kamu hamil?" Tanya Ambar, supervisornya.
"Iya, kak Ambar. Kok kak Ambar tahu?" Jawabnya santai. Sementara yang membuat Ambar dan beberapa orang yang menguping kaget, karena tak ada yang tahu, kapan tepatnya Elvina menikah. Mereka hanya mendengar gosip Elvina menikah dengan pengusaha tua.
"Kemarin-kemarin waktu check up ke dokter Hans, aku lihat kamu. Mau nyapa tapi, aku sudah dipanggil."
"Oh kakak di dokter Hans juga?"
"Iya. Kamu udah mendingan? Kata Nancy kamu rawat inap dua malam di RS."
"Iya, Kak. Kecapekan. Tapi sekarang sudah fit." Jawabnya.
"Yang antar kamu itu suami kamu, Vin?" Tanyanya sedikit berbisik. Elvina mengangguk, sambil tersenyum, "Ganteng ih. Kamu gak undang-undang. Aku hanya tahu gossip-nya saja."
"Gak ada pesta, Kak. Suamiku itu introvert."
"Ooh... Begitu. Ngomong-ngomong, usianya berapa bulan sekarang?" Ambar memegang perut Elvina.
"Jalan empat minggu. Kakak sebentar lagi ya lahiran?"
"Iya nih. Tiga minggu lagi."
"Bukannya cuti, Kak."
"Tanggung, Vin. Akhir-akhir aja ah. Supaya waktu sama bayi lebih lama. Oh iya..." Ambar mengeluarkan sebuah toples kaca yang masih bersegel dengan stiker, "Nih buat kamu. Aku masih ada satu lagi. Cemilan khusus ibu hamil. Enak loh. Dari jaman hamil muda aku makan ini."
"Aduh, Kak.. Terima kasih banyak."
"Santai. Kalau ada masalah atau pertanyaan soal kehamilan, sharing aja ya.. Mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau soal proyek, ke pak Surya langsung aja. Aku pusing hahaha..." Jelasnya.
"Siap, Kak. Thank you. Thank you." Elvina tertawa. Ambar kembali ke ruangannya.
Bagi Elvina, Ambar itu atasan yang baik. Ia sedikit ingin tahu dengan urusan orang lain, tapi ia tidak pernah menjelek-jelekkan. Hanya sekedar ingin tahu. Selain itu, Ambar senang mengobrol. Saat santai ia adalah orang yang asyik. Tapi saat bekerja, Ambar cenderung tegas dan galak. Elvina tersenyum melihat toples berisi biskuit itu. Biskuit bebas gluten dan bebas gula. Katanya. Ia membuka tutupnya dan mengambil satu keping. Begitu menggigitnya ia merasakan semua bahan biskuit itu seperti meleleh di mulutnya. Memang berlebihan, karena sejak pulang dari rumah sakit ia sedikit kesulitan untuk makan.
Ryuu: Sudah makan lagi?
Ryuu: Kata dokter tak apa sedikit, tapi sering
Elvina mengirimkan foto biskuitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Kedua
Lãng mạnEmpat tahun berpacaran, tiga tahun menikah, tidak menjamin seseorang mengenal pasangannya dengan baik. Rivan menikahi Elvina ternyata hanya sebagai alat untuk bisa menjadi pemilik saham di Tirta Grup. Setelah keinginannya tercapai, Rivan berubah dan...